Jumat, 16 September 2016

STUDI KRITIS TERHADAP PENAKLUKAN KONSTANTINOPEL


STUDI KRITIS TERHADAP PENAKLUKAN KONSTANTINOPEL

A.           Latar Belakang
Apabila dilihat dari latar belakang sejarah, konflik intens antara Romawi dan Islam terjadi pasca Perang Mut`ah[1]  dan Perang Tabuk[2]  yaitu pada masa kepemimpinan Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Perluasan wilayah Islam yang sangat masif membuat Romawi terdesak.  Pada tahun 634 hingga 661 M, wilayah Islam bertambah luas dan wilayah Romawi banyak yang menjadi wilayah Islam. Satu demi satu kota-kota penting Romawi jatuh ke tangan umat Islam. Busra, Damasykus, Antiokia, Iskandariah, Yerusalem dan Hims dibebaskan oleh umat Islam.[3]
Keberhasilan menaklukkan kota-kota tersebut menjadi kunci untuk meraih tujuan utama, yaitu menaklukkan Konstantinopel, ibukota Kekaisaran Romawi Timur.
Konstantinopel menjadi ibukota Kekaisaran Romawi berawal pada tahun 324 M ketika Kaisar Constantine Agung memindahkan ibukota dari Roma ke Bizantium. Untuk memperingati dirinya, kota itu dinamakan Constantinopolis (Kota Constantine) yang selanjutnya disebut Konstantinopel.[4]  Kota ini terletak di Semenanjung Bosporus, antara Balkan dan Anatolia, antara Laut Hitam dan Mediterania.[5]  Sebelah utara semenanjung tempat dibangunnya kota ini dibatasi oleh Golden Horn (Tanduk Emas), sebelah selatan dibatasi oleh Laut Marmara dan sebelah timur dibatasi oleh Selat Bosporus. Secara geografis letak Konstantinopel
sangat strategis dan menguntungkan.[6] 
Pada tahun 395 M Kaisar Theodosius membagi kemaharajaannya menjadi dua kepada kedua puteranya, Arcadius dan Honorius. Bagian timur dengan ibukota Konstantinopel untuk Arcadius dan bagian barat dengan ibukota Roma untuk Honorius. Dalam perjalanannya, hal ini menimbulkan kelemahan bagi Romawi Barat hingga mempercepat jatuhnya kota Roma.  Sebaliknya, di kota Konstantinopel bermula kebesaran Romawi Timur hingga bertahan seribu tahun lamanya dengan wilayah yang membentang luas.[7] Dalam diskusi singkat terkait dengan penaklukan Konstantinopel ini, salah seorang pengamat islamologi dan dosen STT Kadesi menyatakan bahwa kemenangan Islam disebabkan pincangnya kekuatan yakni bagian barat dengan ibukota Roma untuk Honorius tidak membantu.[8]  Dalam masa kurang dari seperempat abad sejak kemenangan pertama atas wilayah Romawi, umat Islam telah mendekati tembok Konstantinopel, yang menjadi ibukota Kekaisaran Romawi Timur. Setelah merebut wilayah-wilayah terpentingnya dan menerobos ke Asia Kecil, penaklukan Konstantinopel adalah rencana yang wajar.[9]
Akan tetapi, adanya corak keagamaan dalam penaklukan tersebut semakin memperkuat motivasi umat Islam untuk menguasainya. Umat Islam berlomba-lomba membebaskan Konstantinopel untuk mendapatkan kehormatan yang dijanjikan oleh Rasulullah SAW.[10] Upaya untuk menaklukkan Konstantinopel dimulai sejak pemerintahan Khalifah `Utsman ibn `Affan hingga para khalifah sesudahnya, baik dari Bani Umayyah, Bani `Abbasiyah, hingga Turki `Utsmani. Namun, Semua upaya yang dilakukan mengalami kegagalan. Banyak faktor yang menyebabkan kegagalan tersebut, di antaranya: kuatnya tembok Constantine yang tahan terhadap gempuran, senjata Greek Fire (Api Yunani) yang membakar kapal-kapal, suhu yang sangat dingin, maupun kekacauan dalam negeri Islam sendiri. Ketika Sultan Bayazid I (1389-1403 M) dari Daulah ‘Utsmaniyah mengarahkan ekspansi ke Konstantinopel, tentara Mongol yang dipimpin Timur Lenk melakukan serangan ke Asia Kecil. Pertempuran hebat terjadi di Ankara tahun 1402 M dan tentara ‘Utsmani mengalami kekalahan.[11]
Pada abad ke-14 dan 15 M, wilayah kekuasaan Bizantium semakin
mengecil ketika Daulah `Utsmaniyah memperluas wilayahnya di Eropa. ini membuat posisi Romawi Timur semakin sulit, ditambah tidak adanya bantuan dari Barat. Usaha penyatuan gereja Timur (Orthodox) di Konstantinopel dengan gereja Barat (Katholik) di Roma yang diharapkan dapat membuat Paus mengirim bantuan ke Timur justru menimbulkan perpecahan di Konstantinopel. Disatukannya gereja Konstantinopel dengan gereja Roma pada tahun 1439 M menggemparkan rakyat umum dan melemahkan semangat perjuangan, sehingga ada yang mengatakan bahwa serban sultan Turki di Konstantinopel lebih berharga daripada mahkota Paus di Roma.[12]
Setelah Turki ‘Utsmani mengepung Konstantinopel dari berbagai arah, penyatuan gereja Timur dan Barat tidak begitu berpengaruh terhadap kekuatan Romawi Timur. Bantuan besar yang diharapkan oleh Kaisar Constantinus XI Palaiologos ternyata tidak terwujud, kecuali bantuan dari pasukan Venesia dan Genoa yang membawa perlengkapan perang serta tentara yang ahli dan berani.[13] Walaupun begitu, dengan datangnya pasukan dari Venesia dan Genoa di pelabuhan Konstantinopel mengembalikan kepercayaan diri Kaisar Constantinus. Orang yang memimpin mereka bukanlah orang sembarangan, ia adalah seorang yang ahli dalam perang benteng, Giovani Giustiniani.
Adapun Turki ‘Utsmani yang semakin kuat dan semakin ahli dalam strategi perang tidak mampu lagi dibendung oleh pasukan Konstantinopel.
Cita-cita menaklukkan Konstantinopel yang selama berabad-abad mengalami kegagalan akhirnya terwujud pada masa pemerintahan Sultan Muhammad II bin Murad, yang dikenal dengan nama Muhammad al-Fatih pada tahun 1453 M.
Penantian panjang umat Islam untuk menaklukkan Konstantinopel menarik untuk ditelusuri terkait motivasi umat Islam ingin menaklukkannya, jalannya penaklukan serta strategi yang digunakan dalam penaklukan tersebut, sehingga berhasil menaklukkan jantung pertahanan terakhir Romawi Timur yang telah dicita-citakan dan diperjuangkan sejak delapan abad sebelumnya.
Sejarah penaklukan Konstantinopel secara lengkap dan utuh tentu saja membutuhkan penjelasan dan bukti-bukti yang dihimpun dari berbagai sumber agar terkumpul data yang saling melengkapi.

B.     Penaklukan Konstantinopel Oleh Muhammad Al-Fatih (1453 M)
Permasalahan Definisi politik pada umumnya menyangkut semua kegiatan yang berhubungan dengan negara dan pemerintahan. Perhatian ilmu politik ialah pada gejala-gejala masyarakat, seperti pengaruh dan kekuasaan, kepentingan dan partai politik, keputusan dan kebijakan, konflik dan konsensus, rekrutmen dan perilaku kepemimpinan, massa dan pemilih, budaya politik, sosialisasi politik, dan sebagainya.[14] Untuk melacak pokok yang dibahas dalam tugas ini adalah penaklukan Konstantinopel oleh Daulah ‘Utsmaniyah ketika dipimpin oleh Sultan Muhammad Al-Fatih pada tahun 1453 M. Kajian mengenai hal ini difokuskan terhadap permasalahan di bidang politik. Peristiwa-peristiwa tersebut serta untuk menjabarkan permasalahannya, maka dipandu melalui pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Mengapa umat Islam tertarik untuk menaklukkan Konstantinopel ?
2. Apa makna penaklukan Konstantinopel bagi Islam dan bagaimana
    jalannya penaklukan yang dilakukan oleh Sultan Muhammad al-Fatih ?
Kalau ada sosok yang ditunggu-tunggu kedatangannya sepanjang sejarah Islam, dimana setiap orang ingin menjadi sosok itu, maka dia adalah sang penakluk Konstantinopel. Bahkan para shahabat Nabi sendiri pun berebutan ingin menjadi orang yang diceritakan Nabi SAW dalam sabdanya. Betapa tidak, beliau Nabi SAW memang betul-betul memuji sosok itu. Beliau bersabda Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.[H.R. Ahmad bin Hanbal Al-Musnad 4/335]. Muhammad al-Fatih adalah salah seorang raja atau sultan Kerajaan Utsmani yang paling terkenal. Ia merupakan sultan ketujuh dalam sejarah Bani Utsmaniah. Al-Fatih adalah gelar yang senantiasa melekat pada namanya karena dialah yang mengakhiri atau menaklukkan Kerajaan Romawi Timur yang telah berkuasa selama 11 abad.[15] Sultan Muhammad al-Fatih memerintah selama 30 tahun. Selain menaklukkan Binzantium, ia juga berhasil menaklukkan wilayah-wilayah di Asia, menyatukan kerajaan-kerajaan Anatolia dan wilayah-wilayah Eropa, dan termasuk jasanya yang paling penting adalah berhasil mengadaptasi menajemen Kerajaan Bizantium yang telah matang ke dalam Kerajaan Utsmani.
Dari Abu Qubail berkata: Ketika kita sedang bersama Abdullah bin Amr bin al-Ash, dia ditanya: Kota manakah yang akan dibuka terlebih dahulu; Konstantinopel atau Rumiyah?
Abdullah meminta kotak dengan lingkaran-lingkaran miliknya. Kemudian dia mengeluarkan kitab. Abdullah berkata: Ketika kita sedang menulis di sekitar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau ditanya: Dua kota ini manakah yang dibuka lebih dulu: Konstantinopel atau Rumiyah/Roma?
Rasul menjawab, “Kota Heraklius dibuka lebih dahulu.” Yaitu: Konstantinopel.

(HR. Ahmad, ad-Darimi, Ibnu Abi Syaibah dan al-Hakim)
Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim. Adz-Dzahabi sepakat dengan al-Hakim. Sementara Abdul Ghani al-Maqdisi berkata: Hadits ini hasan sanadnya. Al-Albani sependapat dengan al-Hakim dan adz-Dzahabi bahwa hadits ini shahih. (Lihat al-Silsilah al-Shahihah 1/3, MS)

Ada dua kota yang disebut dalam nubuwwat nabi di hadits tersebut:
1. Konstantinopel
               Kota yang hari ini dikenal dengan nama Istambul, Turki. Dulunya berada di bawah kekuasaan Byzantium yang beragama Kristen Ortodoks. Tahun 857 H / 1453 M, kota dengan benteng legendaris tak tertembus akhirnya runtuh di tangan Sultan Muhammad al-Fatih, sultan ke-7 Turki Utsmani.

2. Rumiyah
             Dalam kitab Mu’jam al-Buldan dijelaskan bahwa Rumiyah yang dimaksud adalah ibukota Italia hari ini, yaitu Roma. Para ulama termasuk Syekh al-Albani pun menukil pendapat ini dalam kitabnya al-Silsilah al-Ahadits al-Shahihah.
Kontantinopel telah dibuka 8 abad setelah Rasulullah menjanjikan nubuwwat tersebut. Tetapi Roma, hingga hari ini belum kunjung terlihat bisa dibuka oleh muslimin. Ini menguatkan pernyataan Nabi dalam hadits di atas. Bahwa muslimin akan membuka Konstantinopel lebih dulu, baru Roma.
Itu artinya, sudah 15 abad sejak Rasul menyampaikan nubuwwatnya tentang penaklukan Roma, hingga kini belum juga Roma jatuh ke tangan muslimin.
Kekaisaran Romawi terpecah dua, Katholik Roma di Vatikan dan Yunani Orthodoks di Byzantium atau Constantinople yang kini menjadi Istanbul. Perpecahan tersebut sebagai akibat konflik gereja meskipun dunia masih tetap mengakui keduanya sebagai pusat peradaban. Constantine The Great memilih kota di selat Bosphorus tersebut sebagai ibukota, dengan alasan strategis di batas Eropa dan Asia, baik di darat sebagai salah satu Jalur Sutera maupun di laut antara Laut Tengah dengan Laut Hitam dan dianggap sebagai titik terbaik sebagai pusat kebudayaan dunia, setidaknya pada kondisi geopolitik saat itu. Constantinople yang kini menjadi Istanbul. Perpecahan tersebut sebagai akibat konflik gereja meskipun dunia masih tetap mengakui keduanya sebagai pusat peradaban. Yang mengincar kota ini untuk dikuasai termasuk bangsa Gothik, Avars, Persia, Bulgar, Rusia, Khazar, Arab Muslim dan Pasukan Salib meskipun misi awalnya adalah menguasai Jerusalem. Arab-Muslim terdorong ingin menguasai Byzantium tidak hanya karena nilai strategisnya, tapi juga atas kepercayaan kepada ramalan Rasulullah SAW melalui riwayat Hadits di atas.
Sayangnya, prestasi yang satu itu, yaitu menaklukkan kota kebanggaan bangsa Romawi, Konstantinopel, tidak pernah ada yang mampu melakukannya. Tidak dari kalangan sahabat, tidak juga dari kalangan tabi`in, tidak juga dari kalangan khilafah Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah.
Di masa sahabat, memang pasukan muslim sudah sangat dekat dengan kota itu, bahkan salah satu anggota pasukannya dikuburkan di seberang pantainya, yaitu Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahuanhu. Tetapi tetap saja kota itu belum pernah jatuh ke tangan umat Islam sampai 800 tahun lamanya.
Konstantinopel memang sebuah kota yang sangat kuat, dan hanya sosok yang kuat pula yang dapat menaklukkannya. Sepanjang sejarah kota itu menjadi kota pusat peradaban barat, dimana Kaisar Heraklius bertahta. Kaisar Heraklius adalah penguasa Romawi yang hidup di zaman Nabi SAW, bahkan pernah menerima langsung surat ajakan masuk Islam dari beliau SAW.
Ajakan Nabi SAW kepada sang kaisar memang tidak lantas disambut dengan masuk Islam. Kaisar dengan santun memang menolak masuk Islam, namun juga tidak bermusuhan, atau setidaknya tidak mengajak kepada peperangan.

Biografi Singkat
Sultan Mehmed II atau juga dikenal sebagai Muhammad Al-Fatih (bahasa Turki Ottoman: م
*مد ثانى Mehmed-i sānī, bahasa Turki: II. Mehmet, juga dikenal sebagai el-Fatih (الفات*), "sang Penakluk", dalam bahasa Turki Usmani, atau, Fatih Sultan Mehmet dalam bahasa Turki; Sultan Muhammad II dilahirkan pada 29 Maret 1432 Masehi di Adrianapolis (perbatasan Turki – Bulgaria). menaiki takhta ketika berusia 19 tahun dan memerintah selama 30 tahun (1451 – 1481).
Beliau merupakan seorang sultan Turki Utsmani yang menaklukkan Kekaisaran Romawi Timur. Mempunyai kepakaran dalam bidang ketentaraan, sains, matematika & menguasai 7 bahasa yaitu Bahasa Arab, Latin, Yunani, Serbia, Turki, Persia dan Israil. Beliau tidak pernah meninggalkan Shalat fardhu, Shalat Sunat Rawatib dan Shalat Tahajjud sejak baligh. Beliau wafat pada 3 Mei 1481 kerana sakit gout sewaktu dalam perjalanan jihad menuju pusat Imperium Romawi Barat di Roma, Italia. Dari sudut pandang Islam, ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang hebat, pilih tanding, dan tawadhu'' setelah Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (pahlawan Islam dalam perang Salib) dan Sultan Saifuddin Mahmud Al-Qutuz (pahlawan Islam dalam peperangan di ''Ain Al-Jalut" melawan tentara Mongol).

Usaha Sultan dalam Menaklukan Konstantinopel
Istanbul atau yang dulu dikenal sebagai Konstantinopel, adalah salah satu DILARANG KERAS termasyhur dunia. DILARANG KERAS ini tercatat dalam tinta emas sejarah Islam khususnya pada masa Kesultanan Utsmaniyah, ketika meluaskan wilayah sekaligus melebarkan pengaruh Islam di banyak negara. DILARANG KERAS ini didirikan tahun 330 M oleh Maharaja Bizantium yakni Constantine I. Kedudukannya yang strategis, membuatnya punya tempat istimewa ketika umat Islam memulai pertumbuhan di masa Kekaisaran Bizantium. Rasulullah Shallallahu ''Alaihi Wasallam juga telah beberapa kali memberikan kabar gembira tentang penguasaan kota ini ke tangan umat Islam seperti dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu ''Alaihi Wasallam pada perang Khandaq.
Para khalifah dan pemimpin Islam pun selalu berusaha menaklukkan Konstantinopel. Usaha pertama dilancarkan tahun 44 H di zaman Mu''awiyah bin Abi Sufyan Radhiallahu ''Anhu. Akan tetapi, usaha itu gagal. Upaya yang sama juga dilakukan pada zaman Khilafah Umayyah. Di zaman pemerintahan Abbasiyyah, beberapa usaha diteruskan tetapi masih menemui kegagalan termasuk di zaman Khalifah Harun al-Rasyid tahun 190 H. Setelah kejatuhan Baghdad tahun 656 H, usaha menawan Kostantinopel diteruskan oleh kerajaan-kerajaan kecil di Asia Timur (Anatolia) terutama Kerajaan Seljuk. Pemimpinnya, Alp Arselan (455-465 H/1063-1072 M) berhasil mengalahkan Kaisar Roma, Dimonos (Romanus IV/Armanus), tahun 463 H/1070 M. Akibatnya sebagian besar wilayah Kekaisaran Roma takluk di bawah pengaruh Islam Seljuk. Awal kurun ke-8 hijriyah, Daulah Utsmaniyah mengadakan kesepakatan bersama Seljuk. Kerjasama ini memberi nafas baru kepada usaha umat Islam untuk menguasai Konstantinopel. Usaha pertama dibuat di zaman Sultan Yildirim Bayazid saat dia mengepung DILARANG KERAS itu tahun 796 H/1393 M. Peluang yang ada telah digunakan oleh Sultan Bayazid untuk memaksa Kaisar Bizantium menyerahkan Konstantinople secara aman kepada umat Islam. Akan tetapi, usahanya menemui kegagalan karena datangnya bantuan dari Eropa dan serbuan bangsa Mongol di bawah pimpinan Timur Lenk.
Selepas Daulah Utsmaniyyah mencapai perkembangan yang lebih maju dan terarah, semangat jihad hidup kembali dengan nafas baru. Hasrat dan kesungguhan itu telah mendorong Sultan Murad II (824-863 H/1421-1451 M) untuk meneruskan usaha menaklukkan Kostantinopel. Beberapa usaha berhasil dibuat untuk mengepung kota itu tetapi dalam masa yang sama terjadi pengkhianatan di pihak umat Islam. Kaisar Bizantium menabur benih fitnah dan mengucar-kacirkan barisan tentara Islam. Usaha Sultan Murad II tidak berhasil sampai pada zaman anak beliau, Sultan Muhammad Al-Fatih (Mehmed II), sultan ke-7 Daulah Utsmaniyyah.
Semenjak kecil, Sultan Muhammad Al-Fatih telah mencermati usaha ayahnya menaklukkan Konstantinopel. Bahkan beliau mengkaji usaha-usaha yang pernah dibuat sepanjang sejarah Islam ke arah itu, sehingga menimbulkan keinginan yang kuat baginya meneruskan cita-cita umat Islam. Ketika beliau naik tahta pada tahun 855 H/1451 M, dia telah mulai berpikir dan menyusun strategi untuk menawan kota DILARANG KERAS tadi. Kekuatan Sultan Muhammad Al-Fatih terletak pada ketinggian pribadinya. Sejak kecil, dia dididik secara intensif oleh para ''ulama terulung di zamannya. Di zaman ayahnya, yaitu Sultan Murad II, Asy-Syeikh Muhammad bin Isma''il Al-Kurani telah menjadi murabbi Amir Muhammad (Al-Fatih). Sultan Murad II telah menghantar beberapa orang ''ulama untuk mengajar anaknya sebelum itu, tetapi tidak diterima oleh Amir Muhammad. Lalu, dia menghantar Asy-Syeikh Al-Kurani dan memberikan kuasa kepadanya untuk memukul Amir Muhammad jika membantah perintah gurunya.
Waktu bertemu Amir Muhammad dan menjelaskan tentang hak yang diberikan oleh Sultan, Amir Muhammad tertawa. Dia lalu dipukul oleh Asy-Syeikh Al-Kurani. Peristiwa ini amat berkesan pada diri Amir Muhammad lantas setelah itu dia terus menghafal Al-Qur''an dalam waktu yang singkat. Di samping itu, Asy-Syeikh Aaq Samsettin (Syamsuddin) merupakan murabbi Sultan Muhammad Al-Fatih yang hakiki. Dia mengajar Amir Muhammad ilmu-ilmu agama seperti Al-Qur''an, hadits, fiqih, bahasa (Arab, Parsi dan Turki), matematika, falak, sejarah, ilmu peperangan dan sebagainya.
Syeikh Aaq Syamsudin lantas meyakinkan Amir Muhammad bahwa dia adalah orang yang dimaksudkan oleh Rasulullah Shallallahu ''Alaihi Wasallam di dalam hadits pembukaan Kostantinopel.
Hari Jumat, 6 April 1453 M, Muhammad II bersama gurunya Syeikh Aaq Syamsudin, beserta tangan kanannya Halil Pasha dan Zaghanos Pasha merencanakan penyerangan ke Konstantinopel dari berbagai penjuru benteng kota tersebut. Dengan berbekal 250.000 ribu pasukan dan meriam -teknologi baru pada saat itu- Para mujahid lantas diberikan latihan intensif dan selalu diingatkan akan pesan Rasulullah Shallallahu ''Alaihi Wasallam terkait pentingnya Konstantinopel bagi kejayaan Islam.
Muhammad II mengirim surat kepada Paleologus untuk masuk islam atau menyerahkan penguasaan kota secara damai dan membayar upeti atau pilihan terakhir yaitu perang. Constantine menjawab bahwa dia tetap akan mempertahankan kota dengan dibantu Kardinal Isidor, Pangeran Orkhan dan Giovani Giustiniani dari Genoa.

Constantine XI








Setelah proses persiapan yang teliti, akhirnya pasukan Sultan Muhammad Al-Fatih tiba di kota Konstantinopel pada hari Kamis 26 Rabiul Awal 857 H atau 6 April 1453 M. Di hadapan tentaranya, Sultan Al-Fatih lebih dahulu berkhutbah mengingatkan tentang kelebihan jihad, kepentingan memuliakan niat dan harapan kemenangan di hadapan Allah Subhana Wa Ta''ala. Dia juga membacakan ayat-ayat Al-Qur''an mengenainya serta hadis Nabi Shallallahu ''Alaihi Wasallam tentang pembukaan kota Konstantinopel. Ini semua memberikan semangat yang tinggi pada bala tentera dan lantas mereka menyambutnya dengan zikir, pujian dan doa kepada Allah Subhana Wa Ta'ala.
Kota dengan benteng >10m tersebut memang sulit ditembus, selain di sisi luar benteng pun dilindungi oleh parit 7m. Dari sebelah barat pasukan artileri harus membobol benteng dua lapis, dari arah selatan Laut Marmara pasukan laut Turki harus berhadapan dengan pelaut Genoa pimpinan Giustiniani dan dari arah timur armada laut harus masuk ke selat sempit Golden Horn yang sudah dilindungi dengan rantai besar hingga kapal perang ukuran kecil pun tak bisa lewat.
Berhari-hari hingga berminggu-mingGu benteng Byzantium tak bisa jebol, kalaupun runtuh membuat celah maka pasukan Constantine langsung mempertahankan celah tsb dan cepat menutupnya kembali. Usaha lain pun dicoba dengan menggali terowongan di bawah benteng, cukup menimbulkan kepanikan kota, namun juga gagal.
Hingga akhirnya sebuah ide yang terdengar bodoh dilakukan hanya dalam waktu semalam. Salah satu pertahanan yang agak lemah adalah melalui Teluk Golden Horn yang sudah dirantai. Ide tersebut akhirnya dilakukan, yaitu dengan memindahkan kapal-kapal melalui darat untuk menghindari rantai penghalang, hanya dalam semalam dan 70-an kapal bisa memasuki wilayah Teluk Golden Horn (ini adalah ide ”tergila” pada masa itu namun Taktik ini diakui sebagai antara taktik peperangan (warfare strategy) yang terbaik di dunia oleh para sejarawan Barat sendiri).

70 kapal di tarik melewati bukit di daerah Galata untuk masuk ke Teluk Golden Horn yang di hadang rantai.


Rantai yang menghalangi kapal masuk ke Teluk Golden Horn.
(koleksi Museum Hagia Sophia)


Rantai yang melindungi pintu masuk ke Teluk Golden Horn
Sultan Muhammad Al-Fatih pun melancarkan serangan besar-besaran ke benteng Bizantium di sana. Takbir "Allahu Akbar, Allahu Akbar!" terus membahana di angkasa Konstantinopel seakan-akan meruntuhkan langit kota itu. Pada 27 Mei 1453, Sultan Muhammad Al-Fatih bersama tentaranya berusaha keras membersihkan diri di hadapan Allah Subhana Wa Ta''ala. Mereka memperbanyak shalat, doa, dan dzikir. Hingga tepat jam 1 pagi hari Selasa 20 Jumadil Awal 857 H atau bertepatan dengan tanggal 29 Mei 1453 M, setelah sehari istirahat perang, pasukan Turki Utsmani dibawah komando Sultan Muhammad II kembali menyerang total, diiringi hujan dengan tiga lapis pasukan, irregular di lapis pertama, Anatolian army di lapis kedua dan terakhir pasukan elit Yanisari.
Giustiniani sudah menyarankan Constantine untuk mundur atau menyerah tapi Constantine tetap konsisten hingga gugur di peperangan. Kabarnya Constantine melepas baju perang kerajaannya dan bertempur bersama pasukan biasa hingga tak pernah ditemukan jasadnya. Giustiniani sendiri meninggalkan kota dengan pasukan Genoa-nya. Kardinal Isidor sendiri lolos dengan menyamar sebagai budak melalui Galata, dan Pangeran Orkhan gugur di peperangan.

Ottoman Siege : Pasukan Turki Utsmani yang sangat canggih di zamannya dengan teknologi Meriam Terbesar di zamannya



The Great Turkish Bombard
Para mujahidin diperintahkan supaya meninggikan suara takbir kalimah tauhid sambil menyerang kota. Tentara Utsmaniyyah akhirnya berhasil menembus kota Konstantinopel melalui Pintu Edirne dan mereka mengibarkan bendera Daulah Utsmaniyyah di puncak kota. Kesungguhan dan semangat juang yang tinggi di kalangan tentara Al-Fatih, akhirnya berjaya mengantarkan cita-cita mereka.
Konstantinopel telah jatuh, penduduk kota berbondong-bondong berkumpul di Hagia Sophia/ Aya Sofia, dan Sultan Muhammad II memberi perlindungan kepada semua penduduk, siapapun, baik Yahudi maupun Kristen karena mereka (penduduk) termasuk non muslim dzimmy (kafir yang harus dilindungi karena membayar jizyah/pajak), muahad (yang terikat perjanjian), dan musta’man (yang dilindungi seperti pedagang antar negara) bukan non muslim harbi (kafir yang harus diperangi). Konstantinopel diubah namanya menjadi Islambul (Islam Keseluruhannya). Hagia Sophia pun akhirnya dijadikan masjid dan gereja-gereja lain tetap sebagaimana fungsinya bagi penganutnya.

Hagia Sophia
Toleransi tetap ditegakkan, siapa pun boleh tinggal dan mencari nafkah di kota tersebut. Sultan kemudian membangun kembali kota, membangun sekolah gratis, siapapun boleh belajar, tak ada perbedaan terhadap agama, membangun pasar, membangun perumahan, membangun rumah sakit, bahkan rumah diberikan gratis bagi pendatang di kota itu dan mencari nafkah di sana. Hingga akhirnya kota tersebut diubah menjadi Istanbul, dan pencarian makam Abu Ayyub dilakukan hingga ditemukan dan dilestarikan. Dan kini Hagia Sophia sudah berubah menjadi museum.




[1] Perang Mut’ah terjadi pada tahun 629 M (8 H) ketika Rasulullah SAW mengirim
utusan kepada kabilah-kabilah Arab yang beragama Nasrani di perbatasan Syiria (sekarang Suriah) yang merupakan wilayah Romawi, untuk menyuru mereka masuk Islam. Akan tetapi, utusan itu dibunuh, sehingga Rasulullah mengerahkan tiga ribu orang tentara dipimpin panglima Zaid ibn Haritsah. Pasukan ini bertemu pasukan Heraklius di dusun Mut’ah, dekat perbatasan Syiria. Terjadilah pertempuran antara kedua pasukan yang membuat panglima Zaid gugur. Akhirnya, pasukan Islam mundur sebab kekuatan musuh jauh lebih besar. Lihat Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Pen., H. A. Bahauddin (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), 1:261.

[2] Perang Tabuk terjadi pada tahun 630 M (9 H) ketika sampai berita kepada
Rasulullah SAW bahwa orang-orang Romawi bersama beberapa kabilah Arab telah berkumpul di perbatasan Palestina untuk memerangi umat Islam. Kemudian Rasulullah menyeru umat Islam agar mempersiapkan diri untuk berjihad. Ketika sampai di Tabuk, Rasulullah singgah di sana untuk beberapa hari hingga datanglah utusan dari Eilah untuk berdamai dan bersedia membayar upeti kepada Rasulullah. Ketika di Tabuk, Rasulullah mengutus Khalid ibn Walid untuk menaklukkan Daumatul Jandal dan berhasil. Setelah itu Rasulullah kembali ke Madinah. Tercatat bahwa Perang Tabuk adalah perang terakhir bagi Rasulullah. Ibid., 280.

[3] Ibid.,  429-54.

[4] Alwi Alatas, al-Fatih Sang Penakluk Konstantinopel (Jakarta: Zikrul Hakim, 2005), 7.

5 Agus Santosa, World Heritage Nature & Culture, Vol. 2 (Jakarta: Batara Publishing, 2009), 7.

[6] Henry S. Lucas, Sejarah Peradaban Barat Abad Pertengahan, terj. Sugihardjo & Budiawan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993),  42

[7] A. Latif Osman, Ringkasan Sejarah Islam, Jilid 1 (Jakarta: Widjaya, 1979), 139.

[8] Heru Susanto, Diskusi dan Wawancara dengan penulis, 06 Oktober 2015 di STT Kadesi
[9] M. A. Enan, Detik-detik Menentukan dalam Sejarah Islam, terj. Mahyuddin Syaf (Surabaya: Bina Ilmu, 1983),  41.

[10] Rasulullah SAW bersabda: “Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam.
Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukannya adalah
sebaik-baik pasukan.,” sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
[11] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), 131.

[12] A. Latif Osman, Ringkasan Sejarah Islam,  (Jakarta: Widjaya, 1979), 2:139.
[13] John Freely, The Grand Turk: Sultan Mehmet II – Conqueror of Constantinople,
Master of an Empire and Lord of Two Seas (London: I.B. Tauris, 2009), 33.

[14] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003),  173.

[15] Nurfitri Hadi, Artikel Kisah Muslim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar