ALKITAB
I)
Macam-macam pandangan terhadap Alkitab.
Orang / golongan yang berbeda tentu akan mempunyai
pandangan yang berbeda tentang Alkitab. Di sini saya hanya akan membahas pandangan
terhadap Alkitab dari orang-orang yang dianggap sebagai ‘orang kristen’.
A) Pandangan Liberal.
Golongan
Liberal beranggapan bahwa ‘Kitab Suci bukanlah Firman Allah,’ atau bahwa ‘Kitab
Suci mengandung Firman Allah’.
Kalau
dikatakan bahwa ‘cincin ini mengandung emas, maka artinya adalah bahwa cincin
ini tidak terbuat dari emas murni, tetapi ada campuran logam lain. Demikian
juga kalau dikatakan bahwa ‘Kitab Suci mengandung Firman Allah’, maka itu
berarti bahwa dalam Kitab Suci ada bagian-bagian yang adalah Firman Allah, dan
ada juga bagian-bagian yang bukan Firman Allah. Dan bagian-bagian yang bukan
Firman Allah itu tentu saja bisa salah.
Contoh:
1) Dalam Majalah ‘PENUNTUN’ terbitan GKI
Jawa Barat, vol 2, No 6, Januari - Maret 1996, ada artikel yang berjudul
‘Keselamatan dalam pandangan Yesus’, ditulis oleh Pdt. Jahja Sunarya, S. Th.,
dan dalam artikel itu ada kata-kata sebagai berikut:
“Jelas,
betapa berartinya peranan penulis dalam menampilkan Yesus. Jika demikian,
apakah tidak mungkin penulis telah menambahi atau mengurangi, bahkan keliru
dalam menafsirkan / mengerti, pengajaran Yesus? Jawabnya tentu saja mungkin.
Sebab ternyata injil yang tertua, yaitu injil karangan Markus, ditulis sekitar
tahun 60. Itu berarti injil ini ditulis setelah sekitar tahun 30 (tigapuluh)
saat peristiwa Yesus terjadi. Kita dapat membayangkan kesulitan Markus
ketika menyusun Injilnya. Ia harus memilah-milah kisah-kisah lisan yang
ada dan ingatan-ingatan yang tidak beraturan untuk menyajikannya dalam wujud
tulisan yang memiliki alur logika yang jelas dan teratur”
2) Dalam Majalah ‘Kairos’ terbitan GKI, bulan Mei 1994, ada surat
pembaca dari Robert Setio Ph. D. (yang sekarang menjadi pendeta
GKI) yang mengatakan sebagai berikut:
“Liputan
Kairos tentang proses pembuatan Alkitab dalam edisi bulan Maret yang baru lalu
merupakan sumbangan yang berharga bagi umat Kristen di Indonesia (GKI) yang,
dalam bayangan saya, jarang atau bahkan tidak pernah sama sekali mendengar
‘rahasia’ tersebut. Liputan tersebut sekaligus juga merupakan peringatan
bagi golongan tertentu yang begitu saja menyamakan Firman Allah dengan Alkitab.
Bukankah proses terjadinya Alkitab itu rumit dan melalui seleksi serta
penafsiran yang bisa jadi memiliki motif politik / ideologis?” -
Golongan
Liberal memang mempunyai ciri khas merendahkan otoritas Kitab Suci, baik dalam
hidup, kepercayaan, maupun ajaran mereka. Karena itu kalau saudara bertemu
dengan orang (khususnya hamba Tuhan!) yang dengan gampang mengabaikan / mengesampingkan
/ menyalahkan Kitab Suci, saudara perlu berhati-hati, karena mungkin sekali itu
adalah orang dari golongan Liberal.
Kalau
saudara bertemu dengan orang yang mengatakan bahwa ‘Kitab Suci hanya
mengandung Firman Allah’, maka tanyakanlah pertanyaan-pertanyaan ini:
Kalau memang ‘Alkitab hanya mengandung Firman Allah’, lalu bagian mana yang
adalah Firman Allah, dan bagian mana yang bukan Firman Allah?
Apa kriteria yang engkau pakai untuk menentukan bagian yang satu sebagai Firman
Allah dan bagian yang lain sebagai bukan Firman Allah? Dan dari mana engkau
mendapatkan kriteria seperti itu?
Dengan otoritas apa / siapa engkau bisa menetapkan bagian yang satu sebagai
Firman Allah dan bagian yang lain sebagai bukan Firman Allah? Bukankah
seharusnya Kitab Suci yang adalah Firman Allah itulah yang menghakimi manusia
(Yoh 12:47-48), dan bukan manusia yang menghakimi Kitab Suci?
B) Pandangan Liberal yang terselubung.
Satu hal
lagi yang perlu diwaspadai adalah orang / gereja Liberal yang slogannya tetap
benar, yaitu ‘Alkitab / Kitab Suci adalah Firman Allah’, tetapi, ini
hanya kedok belaka, karena:
1) Penguraian slogan itu bertentangan
dengan slogannya.
Dengan kata
lain, slogannya benar, yaitu bahwa ‘Alkitab adalah Firman Allah’, tetapi
pada waktu slogan itu diuraikan / dijabarkan, maka terlihat bahwa maksudnya
sama sekali bukanlah bahwa ‘Alkitab adalah Firman Allah’.
Contoh:
a) Dalam Majalah ‘PENUNTUN’ yang
dikeluarkan oleh GKI Jawa Barat, vol. 1, No. 2, Januari - Maret
1995, hal 116, bagian ‘Pengantar Redaksi’, ada kata-kata sebagai berikut: “Tulisan
yang menyoroti tema sajian ini disiapkan oleh Pendeta. .... Sementara ia
menegaskan bahwa firman Allah itu senantiasa lebih luas dari Alkitab, ia pun
menekankan bahwa Alkitab itu betul-betul firman Allah yang sampai kepada
manusia dalam matra ganda, yang tidak tercampur tetapi juga tidak terpisah,
yaitu matra ilahi adikodrati dan matra insani kodrati. Dengan pendekatan
seperti ini, ia berusaha menempatkan posisinya seimbang di antara kalangan yang
menekankan bahwa Alkitab adalah firman Allah dan kalangan yang menegaskan bahwa
Alkitab mengandung firman Allah”.
Selanjutnya
dalam artikel berjudul ‘Alkitab dan Firman Allah’ yang ditulis
oleh Pdt. Eka Darmaputera, Ph. D. dalam majalah tersebut di atas,
dikatakan sebagai berikut:
“Kalau Anda
bertanya kepada saya: ‘Apakah saya percaya Alkitab adalah Firman Allah?’, maka
dengan segera dan tanpa ragu saya akan menjawab, ‘Ya, saya percaya dengan
segenap hati!’. Saya pun sungguh-sungguh berharap agar setiap warga jemaat dan
setiap pendeta (khususnya, seluruh anggota dan pendeta GKI) juga
mengaminkannya. Apa sebab? Sebab itu pula yang kita ‘amin’ kan sebelum kita
menerima baptisan dan pentahbisan kita !”
Dilihat dari
kata-kata ini, maka kelihatannya Pendeta. tersebut mempunyai pandangan / slogan
yang injili. Tetapi dalam bagian lain dari artikel yang sama ia berkata sebagai
berikut:
“Apakah sisi lain dari kebenaran yang harus kita pahami? Yaitu ini: bahwa
sekalipun kita mengamini bahwa ‘Alkitab adalah firman Allah’, itu
samasekali tidak berarti bahwa Alkitab adalah identik dengan firman
Allah, atau bahwa firman Allah adalah identik dengan Alkitab! TIDAK! ...
Yang ingin saya kemukakan adalah, bahwa ‘Alkitab’ dan ‘Firman Allah’ adalah dua
pengertian yang berbeda. Tidak identik. Saya percaya dengan segenap hati bahwa
‘Alkitab adalah firman Allah’, namun itu tidak berarti bahwa saya percaya
‘firman Allah identik dengan Alkitab’”
“Firman Allah, secara teologis, adalah Yesus Kristus, bukan Alkitab!”
“Dengan demikian, yang ingin saya katakan adalah: Alkitab tetap mempunyai
otoritas tertinggi bagi orang kristen dalam pemahaman dan ajaran imannya, tanpa
mengidentikkan Alkitab itu dengan firman Allah sendiri”
“Penulis-penulis Alkitab adalah manusia-manusia seperti kita, yang di
samping keterbatasan-keterbatasan pribadinya, juga dibentuk oleh lingkungan
sosio-kultural mereka dan oleh tingkat perkembangan peradaban serta ilmu
pengetahuan di zaman mereka. Keterbatasan manusiawi ini memang dapat teratasi
sekiranya Tuhan hanya memakai mereka sebagai ‘benda-benda’ mati, seperti pena
atau pensil yang kita pakai untuk menuliskan kehendak kita. Namun jelas sekali,
Tuhan tidak memakai mereka dengan cara seperti itu. Sebab sekiranya cara itulah
yang dipakai oleh Tuhan, maka pastilah seluruh Alkitab paling sedikit akan
mempunyai gaya bahasa dan mempergunakan kosa kata yang sama. Ternyata tidak!
Perhatikan betapa berbedanya bentuk dan gaya kitab Kejadian dengan kitab
Tawarikh, antara kitab Imamat dan kitab Mazmur, antara kitab Yesaya dan kitab
Kidung Agung, dan sebagainya. Perhatikan pula gaya yang amat pribadi dari
surat-surat Paulus. Itu berarti Tuhan memakai para penulis itu dengan seluruh
kepribadian mereka, dengan segala kelebihan dan ... keterbatasan mereka! Benar
bahwa Alkitab itu diwahyukan oleh Allah. Namun wahyu itu disampaikan kepada
kita melalui manusia. Manusia yang dipakai oleh Allah bukan sebagai pena atau
pensil, melainkan sebagai pribadi-pribadi yang hidup. Keadaannya dapat Anda
bayangkan demikian. Anda ingin menyampaikan sebuah berita dukacita kepada
seseorang yang mengalami musibah ditinggalkan kekasihnya secara tiba-tiba oleh
karena kecelakaan. Namun Anda tidak menyampaikan berita ini secara langsung
kepada yang bersangkutan. Anda meminta pertolongan beberapa orang untuk
menyampaikan berita itu. Apa yang terjadi? Orang-orang itu akan menyampaikan
berita yang sama. Tetapi sekaligus, berita yang sama itu akan disampaikan dalam
bentuk dan cara yang amat berbeda-beda. Saya bayangkan, pasti tidak ada
seorangpun yang secara langsung akan mengatakan: ‘Hei, Bung, kekasih Anda mati
kecelakaan sore tadi!’. Masing-masing akan menambahkan bumbu-bumbu dan
bunga-bunga untuk berita yang satu itu, sesuai dengan gaya mereka masing-masing.
... Kalau kita membaca Alkitab, kita harus menerima kedua-duanya. Disitu kita
berhadapan dengan yang sepenuhnya ilahi dan sekaligus yang sepenuhnya
manusiawi, dan menghargai yang manusiawi sebagai sarana untuk berjumpa
dengan yang ilahi. Di dalam dan melalui yang terbatas dan tidak
sempurna, Allah mau menyatakan kehendakNya yang kudus, kekal, mutlak dan
universal. Itulah sebabnya Alkitab tidak hanya dibaca, apalagi sekedar untuk
dipajang! Alkitab adalah firman Allah yang harus senantiasa kita gumuli,
kita pelajari, kita cermati. Supaya ketika kita membaca Alkitab, kita berjumpa
dengan Firman Allah!” (hal 128-129).
b) Hal yang serupa juga dilakukan oleh Pdt.
Yohanes Bambang Mulyono, S. Th. dari GKI yang menulis buku yang
berjudul ‘Tuhan ajarlah aku’. Ada
bagian-bagian dari buku itu yang seolah-olah menunjukkan bahwa ia percaya bahwa
‘Alkitab adalah Firman Allah’, misalnya:
“kita juga tidak setuju dengan paham
liberalisme yang menolak Alkitab sebagai firman Allah” (hal 28).
“Oleh karena itu penulisan Alkitab merupakan
hasil inspirasi dan pengilhaman Roh Kudus sendiri (bdk. 2Tim 3:16)” (hal 131).
“Sebagai jemaat Allah kita mengakui kewibawaan
Alkitab sebagai Firman Allah yang menuntun kepada keselamatan dan menjadi
dasar normatif bagi kehidupan serta tingkah laku kita” (hal 211).
Tetapi dalam
bagian lain dari bukunya ia menunjukkan ‘warna asli’nya, karena ia
berkata:
“Oleh karena itu firman Allah sejati tidak pernah
hanya merupakan suatu kumpulan ayat-ayat dalam Kitab Suci.
Pendewa-dewaan kumpulan ayat-ayat dalam Kitab Suci sebenarnya sama saja dengan
pemberhalaan. Iman kristen menyadari, bahwa firman Allah sejati menjelma
menjadi Yesus Kristus yang adalah Anak Allah. Artinya firman Allah sejati
tidak pernah menjelma menjadi sebuah ‘buku yang turun dari sorga’” (hal 77).
“Atas dasar pemikiran yang demikian, theologia
Alkitab tidak pernah mendudukkan Alkitab sejajar dengan Firman Allah sendiri. Alkitab
adalah alat yang dipakai oleh Allah untuk menyampaikan firmanNya.
Sedangkan firman Allah yang sejati (realitas obyektif-ilahi) menjelma menjadi
manusia yang kelihatan dan yang menyejarah. Sebab itu sikap penghargaan kita
yang tinggi terhadap Alkitab sebagai alat dari firman Allah tidak boleh
melebihi penghargaan kita kepada Yesus Kristus. Jadi Alkitab berada di bawah kuasa
pribadi Yesus Kristus, tidak boleh sebaliknya!” (hal 214).
Dari kedua
contoh di atas ini (point a dan b di atas) kita bisa melihat bahwa kalau dalam
suatu khotbah / tulisan seorang pendeta terdapat suatu kalimat / kata-kata yang
benar / injili, itu belum menjamin bahwa ia pasti bukan orang Liberal.
2) Prakteknya berbeda dengan
slogannya.
Dengan kata
lain, sekalipun slogannya benar, yaitu ‘Alkitab adalah Firman Allah’,
tetapi ternyata prakteknya sama sekali tidak menunjukkan kepercayaan bahwa ‘Alkitab
adalah Firman Allah’.
Contoh: ada ‘hamba
Tuhan’ / gereja yang menyebut Alkitab sebagai Firman Allah, tetapi dalam
prakteknya:
a) Mereka tidak menekankan pengajaran
Alkitab.
Misalnya:
dalam gerejanya tidak ada Pemahaman Alkitab, dan / atau dalam ajaran /
khotbahnya Alkitab tidak digali dengan serius.
b) Mereka sering tidak menggubris Alkitab, dan
mereka bahkan menginjak-injak Alkitab.
Misalnya:
banyak gereja / pendeta yang mau melakukan pemberkatan nikah kristen dengan non
kristen, atau bahkan secara terang-terangan mengijinkan pelaksanaan hal ini
dalam tata gereja mereka, padahal hal ini jelas bertentangan dengan
2Kor 6:14 - “Janganlah kamu
merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya.
Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau
bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?”.
Karena itu,
kalau saudara bertemu dengan seorang pendeta / pengkhotbah / gereja yang
mempunyai slogan yang benar, jangan terlalu cepat percaya. Selidikilah lebih
jauh / teliti bagaimana pendeta / pengkhotbah / gereja itu menguraikan
slogannya, dan selidikilah juga apakah prakteknya sesuai dengan slogannya.
Mana yang
lebih berbahaya: ‘Liberalisme yang terang-terangan’ atau ‘Liberalisme yang
terselubung’? Jawabannya jelas adalah ‘Liberalisme yang terselubung’. Sama
seperti uang palsu yang makin mendekati aslinya tentu lebih membahayakan dari
pada uang palsu yang tidak terlalu mirip dengan uang aslinya, demikian juga
Liberalisme yang terselubung, yang lebih mirip dengan ajaran yang Alkitabiah /
Injili, tentu lebih berbahaya dari pada Liberalisme yang terang-terangan, yang
terlihat pertentangannya secara menyolok dengan ajaran yang Alkitabiah /
Injili.
C) Pandangan Neo Orthodox.
Tokoh dari
pandangan ini adalah Karl Barth, yang mengajar / beranggapan bahwa Kitab Suci menjadi
/ adalah Firman Allah, kalau Allah memakainya untuk berbicara kepada
kita (atau, kalau kita merasakan Allah berbicara kepada kita melalui FirmanNya).
Tetapi kalau Allah tidak memakainya untuk berbicara kepada kita (atau, kalau
kita tidak merasakan bahwa Allah berbicara kepada kita melalui FirmanNya), maka
Kitab Suci bukanlah Firman Allah. Jadi Kitab Suci adalah Firman Allah secara
subyektif, bukan secara obyektif.
Ini jelas
juga merupakan ajaran yang sesat, karena kalau demikian, Firman Allah tidak
bisa menghakimi manusia pada akhir jaman (bdk. Yoh 12:47-48 Ro 2:12), karena manusia yang tidak
merasa bahwa Allah menegur dosanya, sebetulnya tidak pernah menerima teguran
dari Firman Allah.
Ada
ajaran populer dalam kalangan Kharismatik yang mirip dengan ajaran Neo Orthodox
ini, yaitu ajaran tentang ‘RHEMA’. Orang-orang Kharismatik membedakan kata-kata
Yunani ‘RHEMA’ dan ‘LOGOS’ (yang sebetulnya keduanya berarti ‘kata’ / ‘firman’)
dengan cara sebagai berikut:
1) John F. MacArthur, Jr., seorang anti
Kharismatik, dalam bukunya yang berjudul ‘The Charismatics’, hal 69,
berkata bahwa Charles Farah, seorang profesor di Oral Roberts University
mengatakan sebagai berikut: “LOGOS is the objective, historic word and
RHEMA is the personal, subjective word” (= LOGOS adalah firman yang
bersifat sejarah dan obyektif dan RHEMA adalah firman yang bersifat pribadi dan
subyektif).
Dan dalam
buku yang sama hal 70 John F. MacArthur, Jr. berkata bahwa Charles Farah juga
berkata bahwa:
“The LOGOS becomes RHEMA when it speaks to you” (= LOGOS menjadi
RHEMA kalau itu berbicara kepadamu).
“The LOGOS is legal while the RHEMA is experiential” [= LOGOS itu
bersifat hukum (?) sedangkan RHEMA adalah sesuatu yang dialami].
“The LOGOS does not always become the RHEMA, God’s word to you’”(=
LOGOS tidak selalu menjadi RHEMA, firman Allah bagimu).
2) Orang Kharismatik sering berkata: ‘Kalau
RHEMAnya turun ...’.
Ini berarti
bahwa ia mendapat suatu pimpinan / perintah secara pribadi dari Tuhan, langsung
kepada hati / pikirannya. Dan RHEMA yang turun itu bisa berupa ayat Kitab Suci
ataupun tidak.
Dasar Kitab
Suci yang dipakai oleh orang-orang Kharismatik:
Luk 3:2 - ‘datanglah firman (RHEMA) Allah kepada Yohanes’.
Mark 14:72 dan Mat 26:75 (dua ayat ini paralel) - Petrus teringat
akan kata-kata (RHEMA) Tuhan Yesus.
Juga Luk 24:8 dan Kis 11:16 menggunakan kata RHEMA.
Kesalahan
ajaran ini:
a) Mark 14:72 dan Mat 26:75 paralel
dengan Luk 22:61, tetapi, kalau Mark 14:72 dan Mat 26:75 menggunakan
RHEMA, maka Luk 22:61 ternyata menggunakan LOGOS!
Demikian
juga, kalau Luk 24:8 dan Kis 11:16 menggunakan kata RHEMA, maka
Kis 20:35 menggunakan LOGOS, padahal ketiga ayat ini sama-sama berbicara
tentang seseorang yang teringat akan kata-kata Yesus!
Dari
contoh-contoh ini terlihat bahwa LOGOS dan RHEMA digunakan secara interchangeable
(= bisa dibolak-balik) dan tidak ada batasan yang terlalu jelas antara RHEMA
dan LOGOS!
Karena itu
membedakan RHEMA dan LOGOS seperti yang dilakukan oleh orang-orang Kharismatik,
adalah sesuatu yang tidak berdasar!
b) Orang-orang Kharismatik berkata bahwa kalau
firman itu berbicara kepada kita, maka LOGOS itu berubah menjadi RHEMA.
Tetapi dalam
Kis 2:41 4:4 8:14
11:1 13:48 sekalipun firman itu
jelas berbicara kepada orang-orang itu (karena mereka bertobat), tetapi toh
digunakan kata LOGOS dan bukannya RHEMA!
Demikian
juga 1Pet 1:23 menggunakan kata LOGOS, padahal firman di sini adalah
firman yang melahirbarukan (ini lahir baru dalam arti luas)!
c) Ajaran yang berkata “The LOGOS does not
always become the RHEMA, God’s word to you” (= LOGOS tidak selalu menjadi
RHEMA, firman Allah bagimu), jelas sekali berbau ajaran sesat Neo Orthodox,
karena ajaran Neo Orthodox juga berkata bahwa kata-kata dalam Kitab Suci hanya
menjadi firman Allah kalau berbicara kepada kita.
d) Ajaran Kharismatik tentang RHEMA ini
berbahaya, karena ini menyebabkan banyak orang lalu mencari RHEMA tersebut
dalam hati mereka, sehingga lalu mengabaikan Kitab Suci!
Memang Roh
Kudus bisa mengingatkan kita akan Firman Tuhan (Yoh 14:26), tetapi kalau kita
tidak pernah belajar / mengerti Kitab Suci / Firman Tuhan, maka tidak ada
sesuatu yang bisa Ia ingatkan kepada kita! Karena itu, belajar Kitab Suci
dengan sungguh-sungguh dan tekun haruslah menjadi prioritas dalam hidup
kita!
D) Pandangan Orthodox.
Kitab Suci
adalah Firman Allah secara obyektif. Jadi, apakah Kitab Suci itu diberitakan
atau tidak, didengar oleh manusia atau tidak, dimengerti atau tidak, ditaati
atau tidak, Kitab Suci tetap adalah Firman Allah. Dan pada waktu manusia
mendengar pemberitaan Kitab Suci, apakah ia merasakan Allah menggunakannya
untuk berbicara kepadanya atau tidak, Kitab Suci itu tetap
adalah Firman Allah.
Inilah
pandangan yang benar yang harus kita terima.
II) Bukti bahwa Alkitab adalah
Firman Allah.
A) Pengakuan dari dalam Alkitab sendiri.
1) Dalam Alkitab berulang-ulang dikatakan ‘Allah
berfirman’.
Contoh:
Yer 1:2,4,7.
2) Dalam Alkitab berulangkali dikatakan bahwa
Allah menyuruh orang menuliskan FirmanNya.
Contoh:
Kel 34:27 Yer 30:1-2 Wah 1:11,19.
3) Ro 3:1-2 secara jelas menyebutkan bahwa
Alkitab (Perjanjian Lama) adalah Firman Allah (yang dipercayakan kepada orang
Israel / Yahudi).
4) Kata-kata nabi / penulis Perjanjian Lama
dianggap sebagai kata-kata Tuhan / Roh Kudus.
Contoh:
bandingkan Yes 7:14 dengan Mat 1:22.
bandingkan Maz 95:7b-9 dengan Ibr 3:7.
B) Bukti-bukti lain.
1) Alkitab bisa bersatu dan harmonis, padahal
Alkitab ditulis dalam jangka waktu 1500-1600 tahun, oleh kurang lebih 40 orang,
yang:
hidup pada jaman yang berbeda.
mempunyai latar belakang yang berbeda (ada yang petani, gembala, nabi, nelayan,
raja, dsb).
banyak yang tidak kenal satu sama lain.
Illustrasi: Kalau saya
memberikan 40 buku kepada 40 orang dan menyuruh mereka menuliskan suatu
karangan sesuka hati mereka, maka hasilnya pasti tidak akan bisa dikumpulkan
menjadi satu buku. Mengapa? Karena isinya pasti akan bertentangan satu sama
lain, atau sama sekali tidak berhubungan satu sama lain.
Tetapi kalau
saya mengontrol / mengarahkan 40 orang itu, misalnya dengan menyuruh si A
mengarang tentang mata manusia, si B tentang telinga manusia, si C tentang
jantung manusia, si D tentang paru-paru manusia dst, maka besar kemungkinan
hasilnya bisa dibukukan menjadi satu, menjadi buku biologi.
Jadi, kalau
hasil dari 40 penulis Alkitab itu bisa dibukukan menjadi suatu buku yang
bersatu dan harmonis, maka pastilah ada ‘Satu Orang’ yang menguasai /
mengontrol dan mengarahkan ke 40 penulis tersebut. Dan siapakah yang bisa
menguasai / mengontrol dan mengarahkan 40 orang yang hidup dalam jangka waktu
1500-1600 tahun? Hanya ada ‘Satu Orang’ yang
bisa melakukan hal itu, dan itu adalah Allah sendiri.
2) Alkitab tidak bisa habis dipelajari.
Kalau
saudara mempelajari buku lain, bagaimanapun tebalnya buku itu, maka pada suatu
saat buku itu akan habis dipelajari dan saudara tidak akan bisa menambah
pengetahuan apa-apa lagi dari buku itu. Tetapi Alkitab sudah dipelajari oleh
jutaan manusia selama ribuan tahun, dan tidak ada seorangpun yang bisa tamat
belajar Alkitab!
Ada yang
mengatakan bahwa kalau buku lain itu seperti bak, yang sekalipun besar, tetapi
kalau terus diambili airnya, maka airnya akan habis. Tetapi Alkitab seperti
sebuah sumber, yang sekalipun terus diambili airnya, tidak akan pernah
habis.
Kalau
saudara belajar Alkitab, sekalipun makin lama saudara akan makin banyak
mengerti tentang Alkitab, tetapi anehnya saudara akan melihat bahwa makin
banyak juga hal-hal yang belum saudara mengerti tentang Alkitab.
Manusia
tidak bisa mempelajari Alkitab secara tuntas, apalagi mengarangnya!
3) Semua nubuat / ramalan dalam Alkitab terjadi
dengan tepat.
Manusia bisa
meramal dengan:
a) Ilmu pengetahuan.
Misalnya:
ramalan cuaca, ramalan akan terjadinya gerhana, ramalan dari dokter tentang
umur seseorang (yang sudah sakit berat).
b) Kuasa gelap.
Ini macamnya
banyak sekali, seperti penggunaan jailangkung, cucing, ramalan dengan melihat
garis tangan (guamia), dsb.
Tetapi
ramalan-ramalan itu pasti kadang-kadang meleset.
Tetapi semua
nubuat / ramalan dalam Kitab Suci terjadi dengan tepat.
Contoh:
Yes 7:14 Mikha 5:1 Yes 53:3-7,9 Maz 22:1,8,9,16,17,19 Mat 24:2 dll.
Dalam
Yes 44:7 dan Yes 41:21-23a,25-27 dikatakan bahwa hanya Tuhan yang
bisa menubuatkan masa depan, berhala tidak bisa. Jadi, nubuat-nubuat yang
digenapi dalam Kitab Suci ini membuktikan bahwa Kitab Suci memang adalah Firman
Allah.
Memang dalam
Kitab Suci ada nubuat / ramalan yang belum terjadi, seperti nubuat tentang
kedatangan Kristus untuk keduakalinya. Tetapi tidak ada satupun nubuat yang
meleset.
4) Alkitab tahu bahwa bumi ini bulat, dan tidak
disangga oleh tiang-tiang, jauh sebelum manusia mengetahuinya (Yes 40:22 Ayub 26:7).
Yes 40:22a
berbunyi: “Dia yang bertakhta di atas bulatan bumi”.
Ayub 26:7
berbunyi: “Allah membentangkan utara di atas kekosongan, dan menggantungkan
bumi pada kehampaan”.
Dulu manusia
beranggapan bahwa bumi ini datar seperti meja. Manusia baru mengetahui bahwa
bumi ini bulat pada abad 15, tepatnya pada tahun 1492 (Columbus). Tetapi hal
itu ternyata sudah tertulis dalam Kitab Yesaya (abad 7 SM, atau lebih dari
2000 tahun sebelum Columbus!), dan bahkan dalam kitab Ayub yang lebih kuno
lagi! Dari mana penulis-penulis Alkitab itu mengetahui hal itu? Pada saat itu
tidak ada seorang manusiapun yang tahu tentang hal itu. Jelas bahwa mereka
mengetahui hal itu dari Allah!
5) Alkitab tetap terpelihara sampai sekarang
padahal:
a)
Alkitab adalah buku yg paling kuno. Tidak ada buku yang setua Alkitab. Kitab
Kejadian sudah berusia 3500 tahun!
b)
Banyak orang menyerang Alkitab untuk menghancurkannya.
Ada serangan
yang bersifat fisik, dan ada serangan yang berupa ajaran-ajaran sesat. Misalnya
seorang bernama Tom Paine menulis buku yang berjudul ‘The Age of Reason’
yang menyerang Alkitab, dan ia meramalkan bahwa bukunya akan laris di seluruh
dunia sedangkan Alkitab hanya akan dijumpai di museum. Tetapi kenyataannya,
sekarang Alkitab bisa dijumpai dimana-mana dan buku ‘The Age of Reason’
itu yang hanya bisa dijumpai di museum.
Mirip dengan
itu, seorang yang bernama Voltaire mengatakan: 100 tahun setelah kematianku,
Alkitab hanya akan ada di museum. Ternyata 100 tahun setelah kematiannya,
tempat dimana ia mengucapkan kata-kata itu jatuh ke tangan ‘Geneva Bible
Society’, dan ruangan itu diisi penuh dengan Alkitab dari lantai sampai langit-langitnya.
Tetap
terpeliharanya Alkitab, sekalipun diserang selama ribuan tahun, menunjukkan
secara jelas bahwa Allah melindungi buku karanganNya itu!
6) Alkitab bisa ‘berbicara’ kepada
kita!
Kesaksian:
Yes 40:27-31 Yes 41:8-10 berbicara
kepada saya pada waktu Sekolah Theologia di Amerika.
Pada waktu saya dipanggil Tuhan, keluarga saya mengatai saya sebagai gila,
karena meninggalkan ITS tingkat V untuk menjadi hamba Tuhan. Ternyata pada saat
teduh bersama dengan keluarga, ayat yang diambil oleh buku saat teduhnya adalah
dari Kis 26:24 (“Sementara Paulus
mengemukakan semuanya itu untuk mempertanggung-jawabkan pekerjaannya,
berkatalah Festus dengan suara keras: ‘Engkau gila, Paulus! Ilmumu yang banyak
itu membuat engkau gila.’”), dan lalu renungannya berkata: ‘Orang
kristen sering dianggap gila oleh dunia, tetapi sebetulnya bukan orang kristen
yang gila, tetapi dunialah yang gila’.
III) Konsekwensi dari Alkitab
sebagai Firman Allah.
A) Alkitab adalah satu-satunya Firman Allah.
Satu hal
yang perlu ditekankan adalah: kalau kita memang percaya bahwa Alkitab adalah
Firman Allah, kita juga harus percaya bahwa Alkitab adalah satu-satunya
Firman Allah. Memang semua agama mempunyai Kitab Sucinya sendiri-sendiri, dan
setiap agama mengakui Kitab Sucinya sebagai Firman Allah. Tetapi, karena Kitab
Suci dari agama yang satu bukan hanya berbeda tetapi bahkan bertentangan
dengan Kitab Suci dari agama yang lain, maka tidak mungkin semua Kitab Suci -
Kitab Suci itu adalah Firman Allah. Allah itu esa, dan Ia tidak berbicara
dengan lidah yang bercabang. Karena itu, hanya ada satu Kitab Suci saja yang
betul-betul adalah Firman Allah. Kalau kita mengakui Alkitab kita sebagai
Firman Allah, maka kita tidak boleh mengakui Kitab Suci agama lain juga sebagai
Firman Allah. Ini adalah sesuatu yang logis, bukan sikap fanatik yang picik /
extrim dsb!
B) Alkitab tidak ada salahnya (infallible
& inerrant).
1) Yang ‘inerrant’ (= tidak ada
salahnya), adalah Kitab Suci asli (autograph), yang sudah tidak ada
lagi.
a) Manuscript-manuscript / naskah-naskah hasil
salinan sudah tidak lagi inerrant, apalagi Kitab Suci yang sudah
diterjemahan dari bahasa asli ke bahasa lain.
Ini
menyebabkan kita tidak perlu goyah imannya pada waktu ada orang yang
membuktikan bahwa ada kontradiksi / kesalahan dalam Alkitab. Mengapa? Karena autograph
sudah tidak ada lagi, sehingga tidak ada orang yang bisa membuktikan bahwa autographnya
yang salah atau mengandung kontradiksi. Kalau salinan / copy mengandung
kontradiksi / kesalahan, kita dengan mudah bisa berkata bahwa dalam hal itu
telah terjadi kesalahan penyalinan.
b) Ada orang kristen / hamba Tuhan yang
mempercayai bahwa Alkitab kita yang sekarang inipun tidak ada salahnya. Ini
adalah pandangan yang mungkin sekali tulus dan bermotivasi benar (untuk membela
Tuhan / Firman Tuhan / kekristenan), tetapi bagaimanapun juga ini jelas
merupakan pandangan yang salah dan bodoh! Hal ini bisa dibuktikan dari
adanya:
perbedaan-perbedaan antara manuscript yang satu dan manuscript yang lain.
kontradiksi yang tidak mungkin bisa diharmoniskan dalam Kitab Suci.
Misalnya:
2Taw 22:2 mengatakan bahwa Ahazia berusia 42 tahun pada waktu ia menjadi
raja, tetapi bagian paralelnya, yaitu 2Raja 8:26, mengatakan bahwa Ahazia
berusia 22 tahun pada waktu ia menjadi raja. Ini betul-betul kontradiksi yang
tidak bisa diharmoniskan, dan semua orang yang bisa menggunakan logika / akal
sehatnya pasti setuju bahwa 2 kebenaran tidak mungkin bisa bertentangan. Pada
saat terjadi pertentangan antara 2 hal, maka pasti salah satu salah atau bahkan
kedua-duanya salah.
c) Mengapa Allah tidak menjaga supaya copy-copy
/ manuscript-manuscript itu juga inerrant? William G. T. Shedd menjawab
pertanyaan ini sebagai berikut:
“Why did not
God inspire the copyists as well as the original authors? Why did he begin with
absolute inerrancy, and end with relative inerrancy? For the same reason that,
generally, he begins with the supernatural and end with the natural. For
illustration, the first founding of his church, in both the Old and New
dispensations, was marked by miracles; but the development of it is marked only
by his operations in nature, providence and grace. The miracle was needed in
order to begin the kingdom of God in this sinful world, but is not needed in
order to its continuance and progress. And the same is true of the revelation
of God in his written Word. This must begin in a miracle. The truths and facts
of revealed religion, as distinguished from natural, must be supernaturally
communicated to a few particular persons especially chosen for this purpose.
Inspiration comes under the category of the miracle. It is as miraculous as
raising the dead. To expect, therefore, that God would continue inspiration to
copyists after having given it to prophets and apostles, would be like
expecting that because in the first century he empowered men to raise the dead,
he would continue to do so in all centuries” (= Mengapa Allah tidak mengilhami
para penyalin sama seperti para pengarang orisinil? Mengapa Ia mulai dengan
ketidakbersalahan yang mutlak dan mengakhiri dengan ketidak-bersalahan yang
relatif? Karena alasan yang sama dimana Ia biasanya mulai dengan hal-hal
supranatural dan mengakhiri dengan hal-hal yang natural / alamiah. Sebagai
ilustrasi: pendirian pertama dari gereja, baik dalam Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru, ditandai oleh mujijat-mujijat; tetapi perkembangan gereja
hanya ditandai oleh pekerjaanNya dalam alam, providensia dan kasih karunia.
Mujijat itu dibutuhkan untuk memulai Kerajaan Allah dalam dunia yang berdosa
ini, tetapi itu tidak dibutuhkan untuk kelanjutan dan kemajuannya. Dan hal yang
sama juga benar untuk wahyu Allah dalam Firman tertulisNya. Ini harus dimulai
dengan mujijat. Kebenaran dan fakta dari agama yang diwahyukan, berbeda dengan
yang alamiah, harus diberikan secara supranatural kepada beberapa orang
tertentu yang dipilih secara khusus untuk tujuan ini. Pengilhaman termasuk
kategori mujijat. Itu sama mujijatnya dengan pembangkitan orang mati. Karena
itu, mengharapkan bahwa Allah terus mengilhami para penyalin setelah
memberikannya kepada nabi-nabi dan rasul-rasul, sama seperti mengharapkan bahwa
karena pada abad pertama Ia memberikan kuasa kepada manusia untuk membangkitkan
orang mati, Ia akan terus melakukan hal itu dalam semua abad) - ‘Calvinism:
Pure and Mixed’, hal 135-136.
d) Satu hal lagi yang ingin saya persoalkan
adalah suatu pertanyaan yang mungkin sekali akan muncul dalam persoalan ini,
yaitu: apa gunanya kita mempercayai bahwa Alkitab asli (autograph) itu inerrant
/ tidak ada salahnya, padahal autograph / Alkitab asli itu sudah tidak
ada lagi, dan manuscript-manuscript / naskah-naskah yang ada sudah tidak lagi inerrant?
Bukankah itu menjadi sama saja dengan kepercayaan bahwa autographnyapun
ada salahnya? Saya menjawab: tidak sama. Mengapa? Karena jika autographnya
ada salahnya, maka kita tidak mempunyai cara / jalan untuk mengetahui bagian
mana yang salah dan bagian mana yang benar. Tetapi jika manuscript yang salah,
kita bisa mengetahui hal itu, karena biasanya akan terjadi perbedaan manuscript
yang satu dengan manuscript yang lain.
e) Sekalipun Kitab Suci kita yang sekarang ini
ada salahnya, tetapi hal ini tidak perlu menggoncangkan iman kita terhadap
Kitab Suci, karena:
persentase kesalahan itu sangat kecil, mungkin di bawah 1 %, dan dengan
membanding-bandingkan manuscript-manuscript yang ada, seringkali kita bisa tahu
yang mana yang salah dan yang mana yang benar. Lihat bagian tentang ‘Textual
Criticism’ di bawah.
kita boleh percaya bahwa Allah pasti melindungi FirmanNya dari
kesalahan-kesalahan yang fatal. Apa dasar dari kepercayaan ini? Dasarnya
adalah kebijaksanaan Tuhan. Tidak mungkin Tuhan membiarkan kesalahan besar /
fatal masuk ke dalam FirmanNya!
f) Untuk mengatasi kesalahan-kesalahan yang ada
dalam Kitab Suci, penting sekali untuk membanding-bandingkan beberapa
terjemahan Kitab Suci, misalnya Alkitab terjemahan baru, Alkitab terjemahan
lama, TB2-LAI, Alkitab bahasa Inggris (NASB, NIV, KJV, RSV, ASV, dll), Alkitab
bahasa Jawa, Alkitab bahasa Belanda, Alkitab bahasa Tionghoa, dsb. Dengan
membandingkan terjemahan-terjemahan Kitab Suci tersebut, kita dapat mendeteksi
kesalahan-kesalahan itu dan mungkin mengoreksinya.
Cara-cara
lain yang bisa digunakan adalah dengan menggunakan buku-buku tafsiran, atau mengikuti Pemahaman Alkitab yang
baik.
Perlu
diingat bahwa kita tidak selalu bisa tahu penjelasan yang pasti dari hal-hal
yang kelihatannya bertentangan dalam Alkitab. Dalam hal ini perhatikan 2
kutipan di bawah ini.
John Murray: “Oftentimes,
though we may not be able to demonstrate the harmony of Scripture, we are able
to show that there is no necessary contradiction” (= Seringkali, sekalipun
kita tidak bisa menunjukkan keharmonisan Kitab Suci, kita bisa menunjukkan
bahwa di sana tidak harus terjadi kontradiksi) - ‘Collected
Writings of John Murray’, vol I, hal 10.
E. J. Young: “When
therefore we meet difficulties in the Bible let us reserve judgment. If any
explanation is not at hand, let us freely acknowledge that we do not know all
things, that we do not know the solution. Rather than hastily to proclaim the
presence of an error is it not the part of wisdom to acknowledge our
ignorance?” (= Karena itu pada waktu kita menjumpai problem dalam Alkitab
baiklah kita menahan diri dari penghakiman. Jika tidak ada penjelasan yang
tersedia, baiklah kita dengan bebas mengakui bahwa kita tidak mengetahui segala
sesuatu, bahwa kita tidak mengetahui penyelesaiannya. Dari pada dengan
tergesa-gesa menyatakan adanya kesalahan, tidakkah merupakan bagian dari hikmat
untuk mengakui ketidak-tahuan kita?) - ‘Thy Word Is Truth’, hal
182.
Memang
belajar Firman Tuhan itu tidak mudah. Tidak ada jalan pintas. Tetapi asal saudara
sungguh-sungguh rindu pada Firman Tuhan dan senantiasa berdoa supaya
Tuhan memimpin dan menolong saudara untuk mengerti FirmanNya, maka saudara
boleh yakin bahwa Dia, yang adalah gembala yang baik, pastilah akan memimpin
saudara pada jalan yang benar.
2) Dasar dari kepercayaan terhadap ‘inerrancy
of the Bible’.
a) Kalau Kitab Suci memang adalah Firman Allah,
bagaimana Allah bisa salah dalam berbicara?
E. J. Young: “We
must maintain that the original of Scripture is infallible for the simple
reason that it came to us directly from God Himself” (= Kita harus
mempertahankan bahwa Kitab Suci yang orisinil tidak ada salahnya karena alasan
yang sederhana dimana Kitab Suci itu datang kepada kita langsung dari Allah
sendiri) - ‘Thy Word Is Truth’,
Banyak orang
Liberal yang mengatakan bahwa karena Allah menuliskan firmanNya menggunakan
manusia, maka adanya faktor manusia ini memungkinkan, atau bahkan memastikan,
terjadinya kesalahan dalam Kitab Suci. Terhadap pandangan seperti ini, ada 2
hal yang bisa diberikan sebagai jawaban:
perhatikan kata-kata E. J. Young yang berkata sebagai berikut:
“If actual
error is found in the Bible, it is God, not the human writers, who is
responsible for that error. From this conclusion there is no escape” (= Jika betul-betul
ada kesalahan ditemukan dalam Alkitab, maka Allahlah, bukan para penulis
manusia, yang bertanggung jawab untuk kesalahan itu. Ini adalah kesimpulan yang
tidak terhindarkan) - ‘Thy Word Is Truth’, hal 182.
Sekalipun Allah menggunakan manusia dalam menuliskan FirmanNya / Kitab Suci,
itu tidak berarti bahwa Kitab Suci harus mengandung kesalahan, karena:
Allah mahakuasa!
Tidak
bisakah Ia menggunakan manusia sedemikian rupa sehingga Kitab Suci betul-betul
tanpa salah? Dalam diri Yesus, yang juga mempunyai faktor manusia, Allah bisa
menjaga sehingga Yesus suci murni. Lalu mengapa ini tidak bisa Ia lakukan dalam
menulis FirmanNya?
Allah sudah mempersiapkan penulis manusia itu sedemikian rupa sehingga ia
menjadi alat yang cocok sempurna untuk menuliskan firmanNya. Dengan demikian,
sekalipun kepribadian, pengalaman, dan pemikiran dari penulis itu masuk ke
dalam Kitab Suci yang ia tuliskan, tetapi semua itu cocok sempurna dengan yang
Tuhan kehendaki, sehingga apa yang ia tuliskan betul-betul adalah firman
Allah.
E. J. Young
mengutip kata-kata B. B. Warfield sebagai berikut:
“As light
that passes through the coloured glass of a cathedral window, we are told, is
light from heaven, but is stained by the tints of the glass through which it
passes; so any word of God which is passed through the mind and soul of a man
must come out discoloured by the personality through which it is given, and
just to that degree ceases to be the pure word of God. But what if this
personality has itself been formed by God into precisely the personality it is,
for the express purpose of communicating to the word given through it just the
colouring which it gives it? What if the colours of the stained-glass window
have been designed by the architect for express purpose of giving to the light
that floods the cathedral precisely the tone and quality it receives from them?
What if the word of God that comes to His people is framed by God into the word
of God it is, precisely by means of the qualities of the men formed by Him for
the purpose, through which it is given?” (= Sebagaimana sinar yang melalui
kaca berwarna dari jendela suatu katedral, adalah sinar dari surga, tetapi
dikotori oleh warna-warna dari kaca yang dilaluinya; begitu juga dikatakan
bahwa firman Allah yang melalui pikiran dan jiwa manusia pasti keluar dengan
dikotori oleh kepribadian melalui mana firman itu diberikan, dan sampai pada
tingkat itu berhenti menjadi firman yang murni dari Allah. Tetapi bagaimana
jika kepribadian ini telah dibentuk oleh Allah menjadi kepribadian yang persis
cocok sehingga mewarnai firman yang melaluinya sesuai tujuan Allah? Bagaimana
jika warna dari jendela dengan kaca berwarna telah direncanakan oleh sang
arsitek, dengan tujuan memberikan sinar yang memasuki katedral itu sifat dan
kwalitet yang diterimanya dari warna-warna itu, persis seperti yang
dikehendakinya? Bagaimana jika firman Allah yang datang kepada umatNya dibentuk
oleh Allah menjadi firman Allah, dengan memakai kwalitet dari orang-orang yang
dibentuk olehNya untuk tujuan itu, melalui siapa firman itu diberikan?) - ‘Thy
Word Is Truth’, hal 64.
William G.
T. Shedd: “The
infallibility of Scripture is denied upon the ground that it contains a human
element. The human is fallible and liable to error. If therefore the Bible has
a human element in it, as is conceded, it cannot be free from all error. This
is one of the principal arguments urged by those who assert the fallibility of
Scripture. This objection overlooks the fact, that the human element in the Bible
is so modified by the divine element with which it is blended, as to differ
from the merely ordinary human. The written Word is indeed Divine-human, like
the incarnate Word. But the human element in Scripture, like the human nature
in our Lord, is preserved from the defects of the common human, and becomes the
pure and ideal human. ... Those who contend that the Bible is fallible because
it contains a human element commit the same error, in kind, with those who
assert that Jesus Christ was sinful because he had a human nature in his
complex person. Both alike overlook the fact that when the human is
supernaturally brought into connection with the divine, it is greatly modified
and improved, and obtains some characteristics that do not belong to it of and
by itself alone” (= Ketidak-bersalahan Kitab Suci ditolak dengan dasar
bahwa Kitab Suci mengandung elemen manusia. Elemen manusia ini bisa salah.
Karena itu jika Alkitab mempunyai elemen manusia di dalamnya, seperti yang
memang kita akui, maka Kitab Suci tidak bisa bebas dari semua kesalahan. Ini
merupakan salah satu argumentasi utama yang diberikan oleh mereka yang
menegaskan kebersalahan Kitab Suci. Keberatan ini melupakan / mengabaikan fakta
bahwa elemen manusia dalam Alkitab begitu dimodifikasi oleh elemen ilahi dengan
apa elemen manusia itu dicampurkan, sehingga berbeda dengan semata-mata manusia
biasa. Firman yang tertulis memang adalah ilahi-manusiawi, seperti Firman yang
berinkarnasi. Tetapi elemen manusia dalam Kitab Suci, seperti hakekat manusia dalam
Tuhan kita, dijaga / dilindungi dari kesalahan dari manusia biasa / umum, dan
menjadi manusia yang murni dan ideal. ... Mereka yang berpendapat bahwa Alkitab
bisa salah karena Alkitab mengandung elemen manusia, melakukan kesalahan yang
sejenis, dengan mereka yang menegaskan bahwa Yesus Kristus berdosa karena Ia
mempunyai hakekat manusia dalam pribadiNya yang komplex. Keduanya melupakan /
mengabaikan fakta bahwa pada waktu elemen manusia itu dihubungkan secara
supranatural dengan elemen ilahi, maka elemen manusia itu sangat dimodifikasi
dan diperbaiki / ditingkatkan, dan mendapatkan beberapa sifat yang tidak
dimilikinya dari dan oleh dirinya sendiri) - ‘Shedd’s Dogmatic Theology’,
vol I, hal 101,102,103.
b) Kalau Kitab Suci mengandung kesalahan,
mengapa Tuhan melarang kita mengubah Kitab Suci, baik mengurangi maupun
menambahi Kitab Suci? (Ul 4:2
Ul 12:32 Amsal 30:6 Mat 5:19
Wah 22:18-19). Bukankah seharusnya bagian yang salah itu bisa diubah
atau dibuang dan diganti dengan yang benar?
3) Apa pentingnya kepercayaan terhadap ‘inerrancy
of the Bible’?
Kepercayaan
ini penting karena kalau kita mempelajari Kitab Suci dengan anggapan bahwa
Kitab Suci itu mungkin ada salahnya, maka pada waktu kita melihat ada 2 bagian
dari Kitab Suci yang kelihatan bertentangan, kita akan mengambil kesimpulan
bahwa salah satu dari dua bagian itu adalah salah. Tetapi kalau kita
beranggapan bahwa Kitab Suci tidak ada salahnya, maka kita akan berusaha untuk
mengharmoniskan kedua bagian yang kelihatannya bertentangan itu.
Contoh:
Luk 14:26 (harus ‘membenci’ keluarga), kelihatannya bertentangan dengan
Kel 20:12 (‘jangan membunuh’) dan Mat 22:39 (‘kasihilah sesamamu
seperti dirimu sendiri’). Ayat yang bisa mengharmoniskan bagian-bagian tersebut
adalah bagian paralel dari Luk 14:27 tersebut, yaitu Mat 10:37 (tidak
boleh mengasihi keluarga lebih dari Yesus).
William G.
T. Shedd: “One
or the other view of the Scriptures must be adopted; either that they were
originally inerrant and infallible, or that they were originally errant and
fallible. The first view is that of the church in all ages: the last is that of
the rationalist in all ages. He who adopts the first view, will naturally bend
all his efforts to eliminate the errors of copyists and harmonize
discrepancies, and thereby bring the existing manuscripts nearer to the
original autographs. By this process, the errors and discrepancies gradually
diminish, and belief in the infallibility of Scripture is strengthened. He who
adopts the second view, will naturally bend all his efforts to perpetuate the
mistakes of scribes, and exaggerate and establish discrepancies. By this
process, the errors and discrepancies gradually increase, and disbelief in the
infallibility of Scripture is strengthened” (= Salah satu dari
pandangan-pandangan tentang Kitab Suci ini harus diterima; atau Kitab Suci
orisinilnya itu tidak bersalah, atau Kitab Suci orisinilnya itu bersalah.
Pandangan pertama adalah pandangan dari gereja dalam segala jaman: pandangan
yang terakhir adalah pandangan dari para rasionalis dalam segala jaman. Ia yang
menerima pandangan pertama, secara alamiah akan berusaha untuk menyingkirkan
kesalahan-kesalahan dari para penyalin dan mengharmoniskan
ketidaksesuaian-ketidaksesuaian, dan dengan itu membawa manuscript itu lebih
dekat kepada autograph yang orisinil. Melalui proses ini, kesalahan-kesalahan
dan ketidaksesuaian-ketidaksesuaian berkurang secara bertahap, dan kepercayaan
terhadap ketidakbersalahan Kitab Suci dikuatkan. Ia yang menerima pandangan
yang kedua, secara alamiah akan berusaha untuk mengabadikan / menghidupkan
terus-menerus kesalahan-kesalahan dari ahli-ahli Taurat / para penyalin, dan
melebih-lebihkan dan meneguhkan ketidaksesuaian-ketidaksesuaian itu. Melalui
proses ini, kesalahan-kesalahan dan ketidaksesuaian-ketidaksesuaian bertambah
secara bertahap, dan ketidak-percayaan kepada ketidakbersalahan Kitab Suci
dikuatkan) - ‘Calvinism: Pure and Mixed’, hal 137.
E. J. Young: “It
is perfectly true that if we begin with the assumption that God exists and that
the Bible is His Word, we shall wish to be guided in all our study by what the
Scripture says. It is equally true that if we reject this foundational
presupposition of Christianity we shall arrive at results which are hostile to
supernatural Christianity. If one begins with the presuppositions of unbelief,
he will end with unbelief’s conclusions. If at the start we have denied that
the Bible is God’s Word of if we have, whether consciously or not, modified the
claims of the Scriptures, we shall come to a position which is consonant with
our starting point. He who begins with the assumption that the words of the
Scriptures contain error will never, if he is consistent, come to the point of
view that the Scripture is the infallible Word of the one living and eternal
God. He will rather conclude with a position that is consonant with his
starting point. If one begins with man, he will end with man. All who study the
Bible must be influenced by their foundational presuppositions” (= Adalah
sesuatu yang benar bahwa jika kita mulai dengan anggapan bahwa Allah ada dan
bahwa Alkitab adalah FirmanNya, kita akan ingin untuk dipimpin dalam seluruh
pelajaran kita oleh apa yang Kitab Suci katakan. Juga adalah sesuatu yang sama
benarnya bahwa jika kita menolak anggapan dasar dari kekristenan ini, maka kita
akan sampai pada hasil yang bermusuhan terhadap kekristenan yang bersifat
supranatural. Jika seseorang mulai dengan anggapan dari orang yang tidak
percaya, ia akan berakhir dengan kesimpulan dari orang yang tidak percaya. Jika
sejak awal kita telah menolak bahwa Alkitab adalah Firman Allah, atau jika
kita, secara sadar atau tidak, mengubah claim / tuntutan dari Kitab Suci, kita
akan sampai pada suatu posisi yang sesuai dengan titik awal kita. Ia yang mulai
dengan anggapan bahwa kata-kata dari Kitab Suci mengandung kesalahan tidak akan
pernah, jika ia konsisten, sampai pada pandangan bahwa Kitab Suci adalah Firman
yang tak bersalah dari Allah yang hidup dan kekal. Sebaliknya ia akan
menyimpulkan dengan suatu posisi yang sesuai dengan titik awalnya. Jika
seseorang mulai dengan manusia, ia akan berakhir dengan manusia. Semua yang
mempelajari Alkitab pasti dipengaruhi oleh anggapan dasarnya) - ‘Thy
Word Is Truth’, hal 187.
4) Serangan terhadap orang yang menolak ‘Inerrancy
of the Bible’.
Mungkin
karena tidak bisa menjawab serangan yang menunjukkan kontradiksi atau kesalahan
dalam Alkitab, maka ada orang yang lalu mengambil pandangan yang berkata bahwa
Kitab Suci tidak ada salahnya kalau berbicara tentang keselamatan dan iman
Kristen, tetapi Kitab Suci mungkin ada salahnya dalam persoalan sejarah,
geografis, dan detail-detail kecil yang lain.
Pandangan
ini merupakan pandangan kompromi yang berbahaya karena:
a) Kesalahan-kesalahan dalam
hal kecil / remeh membuat kita meragukan kebenaran dari hal-hal yang
besar.
b) Sejarah sering menjadi
dasar dari doktrin.
Misalnya:
doktrin
tentang dosa asal didasarkan pada fakta sejarah bahwa semua manusia berasal
dari Adam.
doktrin
penebusan dosa didasarkan pada fakta sejarah tentang kematian Kristus.
doktrin
kebangkitan orang mati didasarkan atas fakta sejarah kebangkitan Kristus (1Kor
15:12-23).
Karena itu
kalau ternyata fakta-fakta sejarah ini salah atau bisa salah, maka itu berarti
doktrin yang dibangun di atasnya juga salah atau bisa salah.
E. J. Young: “History
and faith cannot be divorced, the one from the other. Remove its historical
basis and faith vanishes. ... To say that what the Bible relates of history is
fallible, but what it relates of faith is infallible is to talk nonsense”
(= Sejarah dan iman tidak bisa diceraikan / dipisahkan satu dengan lainnya.
Buanglah dasar sejarahnya dan iman akan lenyap. ... Mengatakan bahwa apa yang
Alkitab ceritakan tentang sejarah bisa salah, tetapi apa yang Alkitab ceritakan
tentang iman tidak bisa salah, adalah omong kosong) - ‘Thy Word Is
Truth’, hal 101.
Orang yang
mengatakan bahwa Kitab Suci (autographnya) ada salahnya perlu
menunjukkan bagaimana ia bisa tahu yang mana yang salah dan yang mana yang
benar, dan juga menjelaskan standard apa yang ia pakai untuk menyatakan
kesalahan Kitab Suci itu, dan apa dasarnya ia memakai standard itu. Ia perlu
ingat bahwa seharusnya Firman Tuhan itulah yang menghakimi kita
(Yoh 12:48), dan bukannya kita yang menghakimi Firman Tuhan!
Perhatikan
juga beberapa kutipan kata-kata E. J.
Young di bawah ini.
E. J. Young: “if
fallible human writers have given to us a Bible that is fallible, how are we
ourselves, who most certainly are fallible, to detect in the Bible what is
error and what is not?” (= jika para penulis manusia yang bisa salah telah
memberikan kepada kita Alkitab yang bisa salah, bagaimana kita sendiri, yang
jelas juga bisa salah, bisa mendeteksi dalam Alkitab mana yang salah dan mana
yang tidak?) - ‘Thy Word Is Truth’, hal 75.
E. J. Young: “If
God is the Creator, and man a creature, there is no way in which man can set
himself up as a judge of what God has revealed. There is no independent
standard which man can drag in by which he can pass judgment upon the
‘reasonableness’ of God’s revelation” (= Jika Allah adalah Pencipta, dan
manusia adalah makhluk ciptaan, maka tidak ada kemungkinan dimana manusia bisa
menempatkan dirinya sendiri sebagai hakim terhadap apa yang Allah nyatakan /
wahyukan. Tidak ada standard yang independen / bebas / berdiri sendiri yang
bisa dibawa oleh manusia dengan mana ia bisa menyampaikan penghakiman terhadap
‘logis’nya penyataan / wahyu Allah) - ‘Thy Word Is Truth’, hal
189.
E. J. Young: “We
are told that the view of approaching the Bible which we are defending in this
book is old-fashioned and no longer tenable. Modern scholarship, it is
asserted, has shown that this traditional (we should say, Biblical) way of
coming to the Bible is no more possible. We must abandon such an old-fashioned
approach to the Scriptures. If this claim of modern theology is correct then,
of course, it follows that throughout the history of the Church men have been
approaching the Bible in the wrong way. They have come to the Bible as to the
authoritative Word of God and in the Bible they have found Jesus Christ the
Saviour. They were wrong, however; they should not have regarded the Bible as
the final authority. With the insights and contributions of modern scholarship,
we have now learned the correct approach to the Bible. There is, however, a
question which at this point should be raised. If we must now approach the
Bible in a way different from that which the Church has always used, how do we
know that in the future the way which now seems acceptable to us will not then
have been superseded by something more suitable to the men of that time? In the
years ahead the approach to the Bible which present-day scholarship advocates
may be entirely out of date. If it is then out of date, the scholars of that
time will presumably have to discover a method of approach which will be more
relevant to their day, more in keeping with their thoughts and attitudes.
Should this be the case, then it would clearly follow that the benefit and
blessing which in the past has seemed to come to mankind from the Bible, really
was not derived from the Bible itself but rather from man’s way of
looking at the Bible at any given time. For nearly two thousand years the old
approach to the Bible brought blessing. Today, we are told, this approach must
go; it is not scientific. Today, a new approach is requisite. Very well, this
new approach supposedly meets the needs of the present day. What, however,
about the future? In the future, will not some other approach to the Bible be
necessary? If such is the case, it is perfectly obvious that what brings help
and blessing is not the Bible itself but the approach to the Bible which
we find relevant for our own day. It is then not the Bible, but rather our way
of looking at the Bible that is of importance; not the Bible, but what we bring
to the Bible. Thus, in effect, the demand for a new approach to the Bible
amounts to nothing other than a demand that we bring to the Bible what seems to
us to be relevant to our time. This is subjectivism. He who rejects the
Biblical view of Scripture, no matter how much it may be disguised, has set up
the human mind as an arbiter to decide how the Bible is to be regarded”
[= Dikatakan bahwa pandangan untuk mendekati Alkitab yang kami pertahankan
dalam buku ini sudah kuno / ketinggalan jaman dan tidak lagi bisa
dipertahankan. Ditegaskan bahwa ilmu pengetahuan / kesarjanaan modern telah
menunjukkan bahwa cara tradisional (kami lebih suka menyebutnya ‘cara yang
Alkitabiah’) untuk datang kepada Alkitab tidak lagi memungkinkan. Kita harus
meninggalkan pendekatan kuno seperti itu terhadap Kitab Suci. Jika tuntutan
dari theologia modern ini benar, maka jelaslah bahwa dalam sepanjang sejarah
Gereja orang-orang telah mendekati Alkitab dengan cara yang salah. Mereka telah
mendatangi Alkitab sebagai Firman Allah yang mempunyai otoritas, dan dalam
Alkitab mereka telah menemukan Yesus Kristus, sang Juruselamat. Tetapi mereka
salah; mereka sebenarnya tidak boleh menganggap Alkitab sebagai otoritas yang
terakhir / menentukan. Dengan pengertian / pengetahuan dan sumbangan pemikiran
dari ilmu pengetahuan / kesarjanaan modern, sekarang kita telah belajar
pendekatan yang benar terhadap Alkitab. Tetapi di sini ada satu pertanyaan yang
harus ditanyakan. Jika sekarang kita harus mendekati Alkitab dengan suatu cara
yang berbeda dengan cara yang telah selalu dipakai oleh Gereja, bagaimana kita
tahu, bahwa pada masa yang akan datang, cara yang sekarang bisa kita terima
tidak akan digantikan oleh sesuatu yang lebih cocok untuk orang-orang pada
jaman itu? Pada masa yang akan datang, pendekatan terhadap Alkitab yang pada
saat ini dinasehatkan, mungkin sepenuhnya akan menjadi kuno / ketinggalan
jaman. Jika itu menjadi kuno, maka para ahli pada jaman itu mungkin akan
menemukan suatu metode pendekatan yang lebih relevan untuk jaman mereka, lebih
sesuai dengan pemikiran dan pendirian mereka. Jika ini adalah kasusnya, maka
jelaslah bahwa keuntungan dan berkat yang pada masa lalu kelihatannya datang
kepada umat manusia dari Alkitab, sebetulnya bukan didapatkan dari Alkitab itu
sendiri tetapi dari cara manusia memandang Alkitab pada satu saat
tertentu. Selama hampir 2000 tahun pendekatan lama terhadap Alkitab telah
membawa berkat. Sekarang dikatakan bahwa pendekatan ini harus dibuang; itu
tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan. Sekarang dibutuhkan suatu pendekatan yang
baru. Baiklah, pendekatan yang baru ini dianggap cocok untuk jaman ini. Tetapi
bagaimana tentang masa yang akan datang? Pada masa yang akan datang, tidakkah
diperlukan suatu pendekatan yang lain terhadap Alkitab? Jika demikian kasusnya,
maka jelaslah bahwa apa yang membawa pertolongan dan berkat bukanlah Alkitab
itu sendiri tetapi pendekatan terhadap Alkitab yang kita anggap relevan
untuk jaman kita. Jadi yang penting bukanlah Alkitab, tetapi cara kita
memandang pada Alkitab; bukan Alkitab, tetapi apa yang kita bawa kepada
Alkitab. Jadi sebetulnya, tuntutan untuk adanya pendekatan yang baru terhadap
Alkitab tidak lain adalah suatu tuntutan bahwa kita membawa kepada Alkitab apa
yang kelihatan bagi kita sesuatu yang relevan dengan jaman kita. Ini adalah
subyektivitas. Ia yang menolak pandangan yang Alkitabiah tentang Kitab Suci,
tidak peduli bagaimana hal itu disamarkan, telah menjadikan pikiran manusia sebagai
wasit / hakim untuk memutuskan bagaimana Alkitab itu harus dilihat /
diperhatikan] - ‘Thy Word Is Truth’, hal 190-191
5) Penjelasan lebih lanjut tentang arti ‘inerrancy
of the Bible’.
Dalam
persoalan inerrancy ini perlu diingat beberapa hal yang penting:
a) Tentang bilangan, Kitab Suci sering
memberikan:
hanya perkiraan saja. Misalnya: pada waktu Tuhan Yesus memberi makan 5000 orang
laki-laki.
pembulatan. Misalnya: Kel 12:40 menyebutkan 430 tahun, tetapi
Kej 15:13 dan Kis 7:6 menyebutkan 400 tahun. Bilangan 400 ini mungkin
merupakan pembulatan.
b) Pada waktu mengutip, kutipan sering hanya
diambil artinya lalu dikatakan dengan kata-kata sendiri (paraphrased).
Ini pada umumnya terjadi pada waktu Yesus dan rasul-rasul, atau penulis
Perjanjian Baru mengutip Perjanjian Lama. Ini tidak terlalu berbeda dengan
seorang pengkhotbah yang mengutip ayat Kitab Suci dengan hanya mengambil
artinya, atau dengan menggunakan kata-katanya sendiri tetapi tidak mengubah
arti ayat tersebut.
c) Pada waktu melukiskan sesuatu, Alkitab sering
melukiskannya dari sudut peninjauan manusia, atau bagaimana kelihatannya hal
itu oleh manusia.
Misalnya:
Maz 19:5-7 dan Yos 10:12-13 seolah-olah menunjukkan bahwa mataharilah
yang beredar / mengelilingi bumi. Perlu diingat bahwa Kitab Suci bukanlah kitab
ilmu pengetahuan, sehingga Kitab Suci menuliskan peristiwa itu bukan dari sudut
ilmu pengetahuan, tetapi dari sudut penglihatan manusia. Karena mata manusia
melihat bahwa matahari bergerak mengelilingi bumi, maka Kitab Suci menuliskan
demikian. Jadi dalam hal ini tidak bisa dikatakan bahwa Kitab Suci bertentangan
dengan ilmu pengetahuan.
William G.
T. Shedd: “The
inspired writers were permitted to employ the astronomy and physics of the
people and age to which they themselves belonged, because the true astronomy
and physics would have been unintelligible. If the account of the miracle of
Joshua had been related in the terms of the Copernican astronomy; if Joshua had
said, ‘Earth stand thou still,’ instead of, ‘Sun stand thou still’; it could
not have been understood” (= Penulis-penulis yang diilhami diijinkan untuk
menggunakan ilmu perbintangan dan fisika dari orang dan jaman mereka sendiri,
karena ilmu perbintangan dan fisika yang benar tidak akan dimengerti pada saat
itu. Jika cerita tentang mujijat Yosua diceritakan dengan istilah-istilah dari
ilmu perbintangan Copernicus; jika Yosua berkata: ‘Bumi berhentilah engkau’,
dan bukannya ‘Matahari berhentilah engkau’; itu tidak bisa dimengerti pada saat
itu) - ‘Shedd’s Dogmatic Theology’, vol I, hal 104.
Shedd lalu
menambahkan:
“The modern
astronomer himself describes the sun as rising and setting” (= Ahli
ilmu perbintangan modern sendiri menggambarkan matahari sebagai terbit dan
terbenam) - ‘Shedd’s
Dogmatic Theology’, vol I, hal 104.
Shedd
menambahkan lagi:
“The purpose
of the scriptures, says Baronius, is ‘to teach man how to go to heaven, and not
how the heavens go.’” (= Tujuan dari Kitab Suci, kata Baronius, adalah
‘untuk mengajar manusia tentang jalan ke surga, dan bukannya bagaimana surga /
langit berjalan’) - ‘Shedd’s Dogmatic Theology’, vol I, hal 104.
Kej 1:14-16 menunjukkan bahwa Allah menciptakan benda-benda penerang,
yaitu matahari, bulan dan bintang-bintang. Ada 2 hal yang perlu disoroti di
sini:
Jelas
bahwa sebetulnya bulan bukanlah benda terang, karena bulan hanyalah memantulkan
sinar dari matahari, tetapi karena dari sudut mata manusia bulan itu terang,
maka Kitab Suci menggambarkannya sebagai benda penerang.
Disamping
itu juga dikatakan bahwa matahari dan bulan adalah benda penerang yang besar.
Secara implicit ini menunjukkan bahwa bintang-bintang adalah benda
penerang yang kecil. Padahal kita tahu bahwa bintang-bintang itu jauh lebih
besar dari pada bulan dan bahkan banyak yang lebih besar dari matahari. Tetapi
karena dari sudut mata manusia kelihatannya matahari dan bulan lebih besar dari
bintang-bintang, maka Kitab Suci lalu menggambarkannya demikian.
Lagi-lagi
ini tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk mengatakan bahwa Kitab Suci salah
atau bertentangan dengan ilmu pengetahuan.
d) Pada waktu Kitab Suci mencatat kata-kata
setan atau manusia, yang adalah salah, itu tidak berarti Kitab Sucinya salah /
tidak inerrant. Sekalipun kata-kata setan / manusia itu salah, tetapi
mereka memang mengucapkan kata-kata yang salah itu dan Alkitab mencatatnya
secara akurat, dan karena itu Alkitab tetap benar / inerrant.
E. J. Young: “All
that the Bible-believing Christian asserts when he declares that the Bible is
inerrant is that the Bible in its statements is not contrary to fact. It
records things as they actually were” (= Semua yang ditegaskan oleh orang
kristen yang percaya Alkitab pada waktu ia menyatakan bahwa Alkitab tidak ada
salahnya adalah bahwa Alkitab dalam pernyataannya tidak bertentangan dengan
fakta. Alkitab mencatat hal-hal sebagaimana adanya hal-hal itu) - ‘Thy
Word Is Truth’, hal 135.
C) Alkitab tidak boleh ditambahi ataupun
dikurangi.
1) Kanon dan pengkanonan Alkitab.
Sebelum kita
berbicara tentang penambahan atau pengurangan terhadap Alkitab, maka kita harus
lebih dulu mengetahui kitab-kitab mana yang termasuk dalam Alkitab dan
kitab-kitab mana yang tidak termasuk dalam Alkitab. Alkitab yang kita akui
terdiri dari 66 kitab, yaitu 39 kitab-kitab Perjanjian Lama dan 27 kitab-kitab
Perjanjian Baru, dan hanya kitab-kitab ini yang boleh dijadikan dasar
ajaran.
Tentang
kanon Perjanjian Lama tidak ada persoalan, karena pada jaman Yesus hidup di
dunia ini, kanon Perjanjian Lama itu sudah lengkap, dan Yesus tidak mengubahnya
sehingga dianggap sebagai menyetujuinya.
Tetapi kanon
Perjanjian Baru agak sukar untuk menentukan dan melalui proses cukup
lama.
‘Eerdmans’
Family Encyclopedia of the Bible’: “Although there is little direct evidence from
the earliest years, we have a good idea of how the New Testament took on its
present shape. The first gatherings of Christians probably followed the
practice of the Jewish synagogues and had regular readings from the Old
Testament during their meetings. Since they were worshipping Jesus Christ, it
was natural to them to add an account of some part of his life and teaching. At
first this may have been in the form of a first-hand account from someone who
had known Jesus during his lifetime. But then, as the churches grew in numbers,
and as the eye-witnesses began to die, it became necessary to write these
stories down. This was the way the four Gospels (Matthew, Mark, Luke and John)
came into being, and they obviously had an important place in the worship and
life of the early churches. Then the apostles and other leaders had written a
number of letters to various churches and individuals. Since these often gave
general guidance on Christian life and beliefs, their usefulness for the whole
church was soon recognized. Acts was accepted because it continued the story
from Luke’s Gospel. It preserved the only full account of the beginnings of
Christianity. We know that by the year AD 200 the church was officially using
the four Gospels - and no others, although fictitious tales about Jesus and
writings by other Christian leaders who came after the apostles were in
circulation. But the mainstream church clearly accepted only the Gospels of
Matthew, Mark, Luke and John as their authority for the life and teaching of
Jesus. By this time, too, Paul’s letters were generally accepted as of equal
importance with the Gospels. It was only later that the remaining books of the
New Testament became generally accepted. Revelation, for example, was certainly
read in the second century. But not until the third century was it circulating
widely. Hebrews was read towards the end of the first century, but took longer
to become accepted in the Western churches. It was not generally acknowledged
by the church in the West until the fourth century, partly because of doubts as
to whether Paul wrote it. It took longer, too, for 2Peter, 2 and 3 John, James
and Jude to be accepted by the church as basic Scripture. Perhaps this was
because of questions about the content of these books. The New Testament books
were mainly used at first for public reading. If they were unsuitable for this
purpose, their usefulness must have seemed limited. It is clear that no
church council arbitrarily decided that certain books composed the New
Testament. Rather, over a period of time, the church discovered that certain
writings had a clear and general authority, and were helpful and necessary for
their growth. At the Council of Laodicea (AD 363) and the Council of Carthage
(AD 397) the bishops agreed on a list of books identical to our New Testament,
except that at Laodicea Revelation was left out” [= Sekalipun hanya ada
sedikit bukti langsung dari tahun-tahun yang paling awal, kita mempunyai
gagasan yang baik tentang bagaimana Perjanjian Baru mendapatkan bentuknya yang
sekarang ini. Pertemuan (kebaktian) mula-mula oleh orang-orang Kristen mungkin
mengikuti praktek dari sinagog-sinagog Yahudi dan mempunyai pembacaan biasa /
teratur dari Perjanjian Lama dalam pertemuan / kebaktian mereka. Karena mereka
menyembah Yesus Kristus, maka adalah wajar bagi mereka untuk menambahkan suatu
cerita tentang beberapa bagian dari kehidupan dan ajaranNya. Mula-mula ini
mungkin ada dalam bentuk cerita tangan pertama dari orang yang telah mengenal
Yesus selama masa hidupNya. Tetapi lalu, karena gereja bertumbuh dalam jumlah,
dan karena para saksi mata itu mati, maka menjadi perlu untuk menuliskan
cerita-cerita itu. Inilah yang menyebabkan adanya keempat Injil (Matius,
Markus, Lukas, dan Yohanes), dan keempat Injil ini jelas mendapatkan tempat
yang penting dalam penyembahan dan kehidupan dari gereja-gereja mula-mula. Lalu
rasul-rasul dan pemimpin-pemimpin menulis sejumlah surat kepada berbagai-bagai
gereja dan individu. Karena surat-surat ini sering memberikan bimbingan umum
tentang kehidupan dan kepercayaan Kristen, kegunaan surat-surat ini untuk
seluruh gereja segera diakui. Kitab Kisah Rasul diterima karena kitab itu
melanjutkan cerita dari Injil Lukas. Kitab ini memelihara satu-satunya cerita
lengkap tentang permulaan kekristenan. Kita tahu bahwa pada tahun 200 M. gereja
secara resmi menggunakan 4 Injil - dan tidak ada yang lain, sekalipun
cerita-cerita fiksi tentang Yesus dan tulisan-tulisan dari pemimpin-pemimpin
Kristen lain, yang datang setelah rasul-rasul, ada dalam peredaran. Tetapi
aliran utama gereja secara jelas menerima hanya Injil-injil Matius, Markus,
Lukas dan Yohanes sebagai otoritas mereka untuk kehidupan dan ajaran Yesus.
Pada saat ini, juga, surat-surat Paulus secara umum diterima dan dianggap sama
pentingnya dengan Injil-injil tersebut. Baru belakangan maka sisa kitab-kitab
dari Perjanjian Baru diterima secara umum. Kitab Wahyu, misalnya, pasti dibaca
pada abad kedua. Tetapi baru pada abad ketiga kitab ini beredar secara luas.
Surat Ibrani dibaca pada akhir abad pertama, tetapi membutuhkan waktu lebih
lama untuk diterima dalam gereja-gereja Barat. Surat Ibrani ini tidak diakui
secara umum oleh gereja di Barat sampai abad keempat, sebagian disebabkan
karena keraguan apakah Paulus menulisnya atau tidak. Juga 2Petrus, 2 dan 3
Yohanes, Yakobus, dan Yudas, membutuhkan waktu lebih lama untuk diterima oleh
gereja sebagai Kitab Suci dasar. Mungkin ini disebabkan karena
pertanyaan-pertanyaan tentang isi dari kitab-kitab ini. Kitab-kitab Perjanjian
Baru mula-mula digunakan pada umumnya untuk pembacaan di depan umum. Jika
mereka tidak cocok untuk tujuan ini, kebergunaan mereka pasti kelihatan
terbatas. Adalah jelas bahwa tidak ada sidang gereja yang memutuskan secara
mutlak bahwa kitab-kitab tertentu membentuk Perjanjian Baru. Tetapi sebaliknya,
dalam jangka waktu tertentu, gereja mendapatkan bahwa tulisan-tulisan tertentu
mempunyai otoritas yang jelas dan umum, dan membantu dan penting untuk
pertumbuhan mereka. Pada sidang gereja Laodikia (tahun 363 M.) dan sidang
gereja Carthage (tahun 397 M.) para uskup menyetujui suatu daftar kitab-kitab
yang identik dengan Perjanjian Baru kita kecuali bahwa pada sidang gereja
Laodikia kitab Wahyu dihapuskan / tidak dipertimbangkan] - hal 68.
Catatan: sekalipun
kelihatannya penentuan kanon Perjanjian Baru agak meragukan dan boleh dikatakan
bersifat subyektif, tetapi perlu diingat bahwa Tuhan, yang adalah pengarang
sesungguhnya dari Kitab Suci, pasti memimpin gereja dalam proses kanonisasi
Perjanjian Baru tersebut.
2) Penambahan terhadap Alkitab.
a) Gereja Roma Katolik yang menambahi Alkitab
dengan kitab-kitab Apocrypha / Deutrokanonika.
Mula-mula
ada 15 kitab Apocrypha yang ditambahkan kepada Alkitab oleh orang Roma
Katolik, yaitu:
Kitab Esdras yang pertama.
Kitab Esdras yang kedua.
Tobit.
Yudit.
Tambahan-tambahan pada kitab Ester.
Kebijaksanaan Salomo.
Yesus bin Sirakh.
Barukh.
Surat dari nabi Yeremia.
Doa Azarya dan Lagu pujian ketiga pemuda.
Susana.
Bel dan naga.
Doa Manasye.
Kitab Makabe yang pertama.
Kitab Makabe yang kedua.
Catatan: Dalam
Kitab Suci Roma Katolik bahasa Indonesia, no 10,11,12 dijadikan satu kitab,
yaitu ‘Tambahan-tambahan pada kitab Daniel’.
Tetapi 3
dari kitab-kitab Apocrypha ini akhirnya ditolak oleh Council of Trent,
yaitu no 1, no 2 dan no 13, dan karena itu akhirnya hanya 12 kitab Apocrypha
yang dimasukkan ke dalam Alkitab mereka.
Loraine
Boettner mengatakan bahwa:
Kitab Esdras yang kedua ditolak karena di dalamnya ada penolakan terhadap doa
untuk orang mati (2Esdras 7:105) - ‘Roman Catholicism’, hal 80.
Sebetulnya ada lebih banyak lagi kitab-kitab Apocrypha yang lain, tetapi semua
ini tidak pernah dimasukkan ke dalam Kitab Suci Roma Katolik. Mengapa? Loraine
Boettner menjawab:
“The Council
of Trent evidently selected only books that would help them in their
controversy with the Reformers, and none of these gave promise of doing that” (= Council
of Trent dengan jelas menyeleksi hanya buku-buku yang akan membantu mereka
dalam pertentangan dengan para Reformator, dan tidak ada satupun dari buku-buku
itu menjanjikan mereka untuk melakukan hal itu) - ‘Roman Catholicism’, hal
87.
Ke 12
kitab-kitab Apocrypha ini tebalnya kira-kira 2/3 Perjanjian Baru. Dahulu, semua
kitab-kitab ini diletakkan di antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, dan
disebut dengan nama Deuterokanonika (= kanon yang kedua). Tetapi pada tahun
1992, Roma Katolik mengeluarkan ‘The Catechism of the Catholic Church’
(= Katekisasi Gereja Katolik), dimana diputuskan bahwa kitab-kitab
Deuterokanonika itu diselipkan ke sela-sela kitab-kitab Perjanjian Lama, dan dianggap
sebagai Perjanjian Lama!
‘The
Catechism of the Catholic Church’, nomer 120, berbunyi sebagai berikut:“It was by
the apostolic Tradition that the Church discerned which writings are to be
included in the list of the sacred books. This complete list is called the
canon of Scripture. It includes 46 books for the Old Testament (45 if we
count Jeremiah and Lamentations as one) and 27 for the New. The Old Testament:
Genesis, Exodus, Leviticus, Numbers, Deuteronomy, Joshua, Judges, Ruth, 1 and 2
Samuel, 1 and 2 Kings, 1 and 2 Chronicles, Ezra and Nehemiah, Tobit, Judith,
Esther, 1 and 2 Maccabees, Job, Psalms, Proverbs, Ecclesiastes, the Song
of Songs, the Wisdom of Solomon, Sirach (Ecclesiasticus), Isaiah,
Jeremiah, Lamentations, Baruch, Ezekiel, Daniel, Hosea, Joel, Amos,
Obadiah, Jonah, Micah, Nahum, Habakkuk, Zephaniah, Haggai, Zachariah and
Malachi” [= Oleh Tradisi rasulilah Gereja membedakan tulisan-tulisan mana
yang harus dimasukkan dalam daftar kitab-kitab kudus. Daftar lengkap ini
disebut kanon Kitab Suci. Itu mencakup 46 kitab untuk Perjanjian Lama
(45 jika kita menghitung Yeremia dan Ratapan sebagai 1 kitab) dan 27 kitab
untuk Perjanjian Baru. Perjanjian Lama: Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan,
Ulangan, Yosua, Hakim-Hakim, Rut, 1 dan 2 Samuel, 1 dan 2 Raja-Raja, 1 dan 2
Tawarikh, Ezra dan Nehemia, Tobit, Yudit, Ester, 1 dan 2
Makabe, Ayub, Mazmur, Amsal, Pengkhotbah, Kidung Agung, Kebijaksanaan
Salomo, Sirakh, Yesaya, Yeremia, Ratapan, Barukh, Yehezkiel,
Daniel, Hosea, Yoel, Amos, Obaja, Yunus, Mikha, Nahum, Habakuk, Zefanya, Hagai,
Zakharia, dan Maleakhi].
‘The Catechism
of the Catholic Church’, nomer 138, berbunyi sebagai berikut:
“The Church
accepts and venerates as inspired the 46 books of the Old Testament and
the 27 books of the New” (= Gereja menerima dan menghormati 46
kitab-kitab Perjanjian Lama dan 27 kitab-kitab Perjanjian Baru sebagai
diilhamkan).
Catatan: bandingkan
dengan Perjanjian Lama yang kita akui yang hanya terdiri dari 39
kitab!
Kristen
Protestan menolak kitab-kitab Apocrypha / Deuterokanonika ini dengan alasan:
1. Dalam Perjanjian Baru, ada kira-kira 260
kutipan langsung dari Perjanjian Lama, dan juga ada kira-kira 370 penggunaan
bagian-bagian Perjanjian Lama yang tidak merupakan kutipan langsung. Ini
menunjukkan bahwa baik Yesus maupun rasul-rasul mengakui otoritas Perjanjian
Lama sebagai Firman Allah, dan menggunakannya sebagai dasar hidup, iman dan
ajaran mereka. Tetapi baik Yesus maupun rasul-rasul tidak pernah mengutip dari
kitab-kitab Apocrypha / Deuterokanonika tersebut sebagai dasar ajaran mereka, padahal
kitab-kitab Apocrypha / Deuterokanonika itu sudah ada / beredar pada jaman
Tuhan Yesus hidup di dunia ini. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui
kitab-kitab Apocrypha itu sebagai Firman Allah!
2. Penulis kitab-kitab Apocrypha itu sendiri tidak
menunjukkan dirinya sebagai penulis Firman Tuhan yang diberikan Allah kepada
manusia.
Untuk itu
bandingkan Wah 22:18-19 yang terletak pada akhir Kitab Suci / Perjanjian
Baru dengan 2Makabe 15:37b-38 yang terletak pada akhir dari kitab-kitab Deuterokanonika:
Wah 22:18-19
berbunyi: “Aku bersaksi kepada setiap orang yang mendengar
perkataan-perkataan nubuat dari kitab ini: Jika seorang menambahkan sesuatu
kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya
malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini. Dan jikalau seorang
mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Allah
akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus seperti yang
tertulis di dalam kitab ini”.
Dari
Wah 22:18-19 ini terlihat dengan jelas otoritas dari tulisan rasul Yohanes
ini sebagai Firman Tuhan yang tidak boleh ditambahi ataupun dikurangi.
Sekarang
bandingkan dengan 2Makabe 15:37b-38 yang berbunyi: “Maka aku sendiripun
mau mengakhiri kisah ini. Jika susunannya baik lagi tepat, maka itulah yang
kukehendaki. Tetapi jika susunannya hanya sedang-sedang dan setengah-setengah
saja, maka hanya itulah yang mungkin bagiku”.
Ini sama
sekali tidak menunjukkan orang yang menuliskan Firman Tuhan di bawah pengilhaman
Roh Kudus! Perhatikan kata-kata ‘kukehendaki’ dan ‘hanya
itulah yang mungkin bagiku’. Bagaimana kita bisa mempercayai
otoritas tulisan seperti ini, sedangkan penulisnya sendiripun tidak yakin akan
kebenaran tulisannya!
3. Dalam kitab-kitab Apocrypha itu ada
kesalahan-kesalahan, seperti:
Yudit 1:1,7 menyebut Nebukadnezar sebagai raja Asyur di Niniwe, sedangkan
kita tahu bahwa sebetulnya Nebukad-nezar adalah raja Babilonia (Daniel
4:4-6,30).
Tobit 5:13 menceritakan tentang seorang malaikat yang bernama Rafael, yang
berdusta dengan memperkenalkan dirinya sebagai ‘Azarya bin Ananias’, atau
‘Azarya anak laki-laki dari Ananias’.
Bagaimana
mungkin kitab-kitab yang mengandung kesalahan seperti itu bisa disetingkatkan
dengan Kitab Suci / Firman Tuhan?
4. Dalam kitab-kitab Apocrypha ada doktrin ‘salvation
by works’ (= keselamatan karena perbuatan baik) yang sesat / tidak
alkitabiah.
Contoh:
Tobit 4:10 - “Memang sedekah melepaskan dari maut dan tidak membiarkan
orang masuk ke dalam kegelapan”.
Tobit 12:9 - “Memang sedekah melepaskan dari maut dan menghapus setiap
dosa”.
Tobit 14:10-11a - “Nak, ingatlah kepada apa yang telah diperbuat Nadab
kepada bapa pengasuhnya, yaitu Ahikar. Bukankah Ahikar hidup-hidup diturunkan
ke bagian bawah bumi? Tetapi Allah telah membalas kelaliman Nadab ke atas
kepalanya sendiri. Ahikar keluar menuju cahaya, sedangkan Nadab turun ke
kegelapan kekal, oleh karena ia telah berusaha membunuh Ahikar. Karena
melakukan kebajikan maka Ahikar luput dari
jerat maut yang dipasang baginya oleh Nadab. Sedangkan Nadab jatuh ke
dalam jerat maut yang juga membinasakannya. Makanya anak-anakku, camkanlah apa
yang dihasilkan oleh sedekah dan apa yang dihasilkan oleh kelaliman”.
Sirakh 3:3 - “Barangsiapa menghormati bapanya memulihkan dosa”.
Doktrin ‘Salvation
by works’ (= keselamatan karena perbuatan baik) yang sesat / tidak
alkitabiah ini jelas bertentangan dengan ayat-ayat di bawah ini:
Ro 3:27-28
- “Jika demikian, apa dasarnya untuk bermegah? Tidak ada! Berdasarkan
perbuatan? Tidak, melainkan berdasarkan iman! Karena kami yakin, bahwa manusia
dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat”.
Gal 2:16a
- “Kamu tahu, bahwa tidak seorangpun yang dibenarkan oleh karena melakukan
hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus”.
Gal 2:21b
- “... sekiranya ada kebenaran oleh hukum Taurat, maka sia-sialah kematian
Kristus”.
Ef 2:8-9
- “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil
usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang
yang memegahkan diri”.
b) Gereja-gereja Kharismatik yang mengajar
berdasarkan pengalaman, nubuat, Tuhan bicara, dsb.
Memang
secara sah / resmi mereka hanya mengakui 66 kitab dalam Alkitab kita sebagai
Firman Allah, tetapi dalam prakteknya banyak dari mereka yang mengajar
berdasarkan hal-hal lain di luar Alkitab, seperti pengalaman, nubuat, Tuhan
bicara, mimpi, penglihatan dan sebagainya.
pengalaman.
Memang tidak
salah seseorang menyaksikan / mensharingkan apa yang ia alami, asal ia
tidak menjadikan hal itu sebagai rumus, seakan-akan semua orang harus mengalami
apa yang ia alami. Pengalaman seseorang hanya boleh dijadikan rumus, yang harus
juga dialami oleh orang lain, kalau pengalaman itu mempunyai dasar Kitab Suci.
Misalnya Kitab Suci jelas mengajar bahwa orang yang percaya kepada Yesus akan
mendapatkan damai / sukacita (Mat 11:28
Yoh 14:27 Gal 5:22). Kalau
seseorang bertobat / percaya kepada Yesus, dan ia lalu mengalami damai /
sukacita, maka pengalaman itu boleh dijadikan rumus. Tetapi kalau seseorang
sakit dan berdoa dan lalu sembuh, ini boleh disharingkan tetapi tidak
boleh dijadikan rumus, karena Tuhan tidak menjanjikan untuk menyembuhkan semua
orang kristen yang sakit.
Tetapi,
dalam kalangan Kharismatik, ada banyak pengalaman yang tidak mempunyai dasar
Kitab Suci yang lalu dijadikan rumus, yang harus dialami oleh semua orang lain.
Ini boleh dikatakan menambahi Kitab Suci.
nubuat, Tuhan bicara, dsb.
Dalam
kalangan Kharismatik juga banyak hal-hal seperti ini, dan banyak dari mereka
tetap menerima ‘nubuat’ / ‘suara Tuhan’ itu sekalipun itu tidak sesuai dengan
Kitab Suci. Ini jelas juga merupakan penambahan terhadap Kitab Suci.
Catatan: kalau
suatu gereja / seorang pendeta menambahi Kitab Suci, maka biasanya gereja /
pendeta itu juga akan mengurangi Kitab Suci, yaitu bagian-bagian Kitab Suci
yang bertentangan dengan apa yang ditambahkan kepada Kitab Suci oleh gereja /
pendeta tersebut.
3) Pengurangan terhadap Alkitab.
Misalnya:
menolak Perjanjian Baru, seperti Yudaisme.
mengabaikan Perjanjian Lama.
orang yang mengajar berdasar ayat tertentu, tetapi mengabaikan bagian-bagian
lain dari Kitab Suci yang bertentangan dengan ajarannya.
4) Dalam persoalan kanon Alkitab ini 2 hal lagi
yang perlu diketahui:
a) Dalam kebanyakan (tidak semua) Mazmur,
ayat pertama, atau sebagian dari ayat pertama, dan bahkan kadang-kadang juga
ayat kedua, sebetulnya tidak termasuk Kitab Suci. Karena itu dalam Akitab
bahasa Inggris, bagian itu diletakkan di atas, tanpa diberi nomer ayat.
Misalnya:
Maz 3:1 Maz 4:1 Maz 32:1a
Maz 52:1-2 Maz 54:1-2.
Bagian ini,
memang sering dipakai sebagai pembantu dalam penafsiran, yaitu untuk mengetahui
latar belakang mazmur itu. Tetapi perlu dicamkan bahwa bagian ini tidak mutlak
benar.
b) Dalam Alkitab ada bagian-bagian diragukan /
diperdebatkan keasliannya, seperti:
1. Mark 16:8b-20 (dalam Kitab Suci
Indonesia).
Catatan: TB2-LAI
meletakkan bagian ini dalam tanda kurung besar / tegak.
Dalam
persoalan Mark 16 ini, ada 4 golongan manuscript:
Memuat Mark 16:1-8a, tetapi tidak memuat Mark 16:8b dan Mark
16:9-20.
Memuat Mark 16:1-8a dan Mark 16:8b, tetapi tidak memuat Mark
16:9-20.
Memuat Mark 16:1-8a dan Mark 16:9-20, tetapi tidak me-muat Mark
16:8b.
New Geneva Study Bible mengatakan bahwa ada beberapa manuscript yang
memuat Mark 16:1-8a, Mark 16:8b, dan Mark 16:9-20.
Catatan: dalam Mark
16 ini:
NIV memberikan headnote sebagai berikut:
“the two
most reliable early manuscripts do not have Mark 16:9-20” (= Dua
manuscript yang paling kuno dan paling bisa dipercaya tidak mempunyai Mark
16:9-20).
NASB memberikan footnote:
“Some of the
oldest mss. do not contain vv 9-20” (= Beberapa dari manuscript yang
paling kuno tidak mempunyai ay 9-20).
Dalam RSV diberikan footnote / catatan kaki yang berbunyi sebagai
berikut:
“Some of the
most ancient authorities bring the book to a close at the end of verse 8. One
authority concludes the book by adding after verse 8 the following: But they
reported briefly to Peter and those with him all that they had been told. And
after this, Jesus himself sent out by means of them, from east to west, the
sacred and imperishable proclamation of eternal salvation. Other authorities
include the preceding passage and continue with verses 9-20. In most
authorities verses 9-20 follow immediately after verse 8; a few
authorities insert additional material after verse 14” (= beberapa
otoritas / manuscript yang paling kuno mengakhiri kitab ini pada akhir ayat 8.
Satu otoritas / manuscript menyimpulkan kitab ini dengan menambahkan setelah
ayat 8 kata-kata ini: Tetapi mereka menyampaikan secara singkat kepada Petrus
dan mereka yang bersama dengan dia semua yang telah diceritakan kepada mereka.
Sesudah ini, Yesus sendiri memberitakannya dengan perantaraan mereka, dari
Timur ke Barat, proklamasi keselamatan yang kudus / sakral dan tak bisa binasa
itu. Otoritas / manuscript yang lain memasukkan bagian sebelumnya dan
melanjutkan dengan ayat 9-20. Dalam kebanyakan otoritas / manuscript
ayat 9-20 langsung menyusul ayat 8; sedikit otoritas / manuscript memasukkan
tambahan materi setelah ayat 14).
The New Scoffield Study Bible memberikan keterangan sebagai berikut:
“Verses 9-20
are not found in the two most ancient manuscripts, the Sinaiticus and
Vaticanus; others have them with partial omissions and variations. But the
passage is quoted by Irenaeus and Hippolytus in the second and third century” (=
Ayat-ayat 9-20 tidak ditemukan dalam dua manuscript yang paling kuno,
Sinaiticus dan Vaticanus; manuscript-manuscript yang lain mempunyai ayat-ayat
ini dengan penghapusan sebagian dan variasi-variasi / perbedaan-perbedaan.
Tetapi bagian ini dikutip oleh Irenaeus dan Hippolytus dalam abad kedua dan
ketiga).
New Geneva Study Bible memberikan keterangan sebagai berikut:
“Scholars
differ regarding whether these verses were originally part of this Gospel. Some
important early Greek manuscripts lack these verses, other manuscripts have vv
9-20 (known as the ‘longer Ending’), and still others have a ‘Shorter Ending’
(roughly one verse long). A few manuscripts have both the ‘Shorter Ending’ and
the ‘Longer Ending’. Because of these differences, some scholars believe that
vv 9-20 were added later and not written by Mark. On the other hand, the verses
are cited by writers from the late second century and are found in the
overwhelming majority of existing Greek manuscripts of the Gospel of Mark. For
other scholars, these facts establish the authenticity of the passage” [= Para
ahli berbeda pendapat tentang apakah ayat-ayat ini merupakan bagian orisinil
dari Injil ini. Beberapa manuscript Yunani kuno tidak mempunyai ayat-ayat ini,
beberapa manuscript yang lain mempunyai ayat-ayat 9-20 (dikenal sebagai
‘Akhiran yang panjang’), dan ada lagi manuscript-manuscript yang lain yang
mempunyai ‘Akhiran yang pendek’ (kira-kira panjangnya satu ayat). Sedikit
manuscript mempunyai baik ‘Akhiran yang pendek’ maupun ‘Akhiran yang panjang’.
Karena perbedaan-perbedaan ini, beberapa ahli percaya bahwa ayat-ayat 9-20
ditambahkan belakangan dan tidak ditulis oleh Markus. Di lain pihak, ayat-ayat
ini dikutip oleh penulis-penulis dari akhir abad kedua dan ditemukan dalam
kebanyakan manuscript Yunani dari Injil Markus. Untuk para ahli yang lain,
fakta-fakta ini menegakkan keaslian dari bagian ini].
Pengertian
bahwa Mark 16:8b-20 merupakan bagian yang diperdebatkan keasliannya
merupakan hal yang penting, karena Mark 16:17-18 sering dipakai oleh
banyak orang Kharismatik untuk mengajarkan ajaran-ajaran yang extrim, misalnya
bahwa orang kristen harus berbahasa roh, bisa memegang ular berbisa dan minum
racun tanpa mendapat celaka, dsb. Tetapi ingat, bahwa bukan ini yang
menyebabkan banyak orang mencurigai bahwa bagian ini tidak asli. Yang
menyebabkan kecurigaan adalah adanya perbedaan manuscript.
2. Yoh 7:53-8:11.
Catatan: TB2-LAI
juga meletakkan bagian ini dalam tanda kurung besar / tegak.
Bahwa
bagian ini adalah suatu bagian yang diragukan keasliannya, terlihat dari:
Di atas Yoh 7:53, NIV menuliskan kata-kata ini:
“The
earliest and most reliable manuscripts do not have John 7:53-8:11” (=
Manuscript-manuscript yang paling kuno dan paling dapat dipercaya tidak
mempunyai Yoh 7:53-8:11).
NASB meletakkan seluruh bagian ini dalam tanda kurung dan memberi catatan
sebagai berikut:
“John 7:53-8:11
is not found in most of the old manuscript” (Yoh 7:53-8:11 tidak ditemukan
dalam mayoritas manuscript kuno).
Footnote / catatan kaki RSV berkata sebagai berikut:
“The most
ancient authorities omit 7.53-8.11; other authorities add the passage here or
after 7.36 or after 21.25 or after Luke 21.38 with variations of text” (=
Otoritas-otoritas yang paling kuno membuang 7:53-8:11; otoritas-otoritas yang
lain menambahkan bagian ini di sini atau setelah 7:36 atau setelah 21:25 atau
setelah Luk 21:38 dengan perbedaan-perbedaan text).
ASV meletakkan bagian ini dalam kurung dan lalu memberikan catatan kaki sebagai
berikut:
“Most of the
ancient authorities omit John 7.53-8.11. Those which contain it vary much from
each other” (= Mayoritas otoritas-otoritas kuno menghapus Yoh 7:53-8:11. Mereka
yang mempunyainya berbeda banyak satu dengan yang lainnya).
Dalam NEB (New English Bible), bagian ini ditulis pada akhir dari Injil
Yohanes, dan diberi footnote / catatan kaki yang berbunyi sebagai
berikut:
“This
passage, which in the most widely received editions of the New Testament is
printed in the text of John 7.53-8.11, has no fixed place in our ancient
manuscripts. Some of them do not contain it at all. Some place it after Luke
21.38, others after John 7.36, or 7.52, or 21.24” (= Bagian ini, yang dalam edisi Perjanjian Baru
yang paling banyak diterima dicetak dalam text dari Yoh 7:53-8:11, tidak
mempunyai tempat yang tetap / tertentu dalam manuscript-manuscript kita yang
kuno. Beberapa dari mereka tidak mempunyai bagian ini sama sekali. Beberapa
menempatkannya setelah Luk 21:38, yang lain setelah Yoh 7:36, atau 7:52, atau
21:24).
3. Yoh 5:3b,4.
Catatan: TB2-LAI
juga meletakkan bagian ini dalam tanda kurung besar / tegak.
Bahwa bagian
ini adalah bagian yang diragukan keasliannya, terlihat dari:
RSV dan NIV menghapus bagian ini dari textnya, dan hanya menuliskannya pada footnote
(= catatan kaki).
NASB menuliskan bagian ini dalam textnya, tetapi meletakkannya dalam tanda
kurung.
4. Semua ayat-ayat yang dalam Kitab Suci
Indonesia diletakkan dalam tanda kurung besar / tegak
Catatan: bagian
yang ada dalam tanda kurung biasa ® (.....),
tidak diragukan kebenarannya. Misalnya Yoh 1:38,42.
Contoh
bagian yang diletakkan dalam tanda kurung besar / tegak:
a. Mat 6:13b.
Perlu
diperhatikan bahwa ini adalah akhir dari Doa Bapa Kami yang sangat terkenal
itu!
b. Mat 17:21.
Pengertian
bahwa ayat ini merupakan ayat yang diragukan keasliannya merupakan hal yang
cukup penting karena ayat ini digunakan oleh banyak orang untuk mengajar bahwa
kalau kita mau mengusir setan kita harus berdoa dan berpuasa.
Ayat paralel
dari Mat 17:21, yaitu Mark 9:29 termasuk bagian Kitab Suci yang asli,
karena tidak ada dalam tanda kurung besar / tegak, tetapi Mark 9:29 ini hanya
berbunyi: “JawabNya kepada mereka: ‘Jenis ini tidak dapat diusir kecuali
dengan berdoa’” (kata ‘berpuasa’ tidak ada!).
c. Mark 9:44,46.
d. Mark 11:26.
e. Mark 14:68c.
f. Mark 15:28.
g. Kis 8:37.
h. 1Yoh 5:7b-8a - ini sering dipakai sebagai
dasar dari Allah Tritunggal.
i. Dll.
Saya sendiri
condong untuk tidak menerima bagian-bagian ini sebagai Alkitab / Firman Allah.
Memang sikap ini mempunyai resiko. Kalau bagian-bagian itu memang adalah
Alkitab, maka itu berarti saya mengurangi Alkitab. Tetapi jangan lupa bahwa
sikap menerima bagian-bagian itu sebagai bagian asli dari Alkitab, juga
mempunyai resikonya sendiri. Kalau bagian-bagian itu memang bukan termasuk
Alkitab, maka itu berarti mereka menambahi Alkitab.
Juga perlu
diperhatikan bahwa kalau saya menolak bagian-bagian ini sebagai Alkitab, ini
sangat berbeda dengan orang-orang Liberal yang menolak bagian-bagian tertentu
sebagai Firman Allah. Perbedaannya adalah dalam hal motivasi. Saya menolak
bagian-bagian ini justru karena saya sangat menghormati Alkitab dan karena itu
saya tidak mau Alkitab ditambahi dengan bagian-bagian yang sebetulnya tidak
termasuk Alkitab. Tetapi kalau orang Liberal menolak bagian tertentu dari
Alkitab, itu terjadi karena mereka tidak menghormati, bahkan sebaliknya
meremehkan, Alkitab.
D) Kita harus mencari dan mengisi diri dengan
Alkitab / Firman Allah.
1) Mencari / mengejar Firman Tuhan.
Kepercayaan
terhadap Alkitab sebagai Firman Allah akan sia-sia kalau tidak disertai dengan
perwujudan yang sejalan dengan kepercayaan itu. Kalau kita memang percaya bahwa
Alkitab adalah Firman Allah, maka kita harus mengejar / mencarinya secara
mati-matian (Amsal 2:1-5 Amsal
23:23).
Amsal 2:1-5
- “Hai anak-anakku, jikalau engkau menerima perkataanku dan menyimpan perintahku
di dalam hatimu, sehingga telingamu memperhatikan hikmat, dan engkau
mencenderungkan hatimu kepada kepandaian, ya, jikalau engkau berseru kepada
pengertian, dan menujukan suaramu kepada kepandaian, jikalau engkau
mencarinya seperti mencari perak, dan mengejarnya seperti mengejar harta
terpendam, maka engkau akan memperoleh pengertian tentang takut akan TUHAN
dan mendapat pengenalan akan Allah”.
Renungkan:
yang mana yang lebih giat saudara lakukan? Mencari uang / harta / kekayaan,
atau mencari hikmat / Firman Tuhan?
kalau saudara tahu bahwa di suatu tempat ada harta terpendam, apakah saudara
akan menunda dalam mencari / menggalinya? Apakah adanya tamu, adanya undangan
pernikahan, adanya kesibukan menyebabkan saudara menunda untuk menggali harta
terpendam itu? Kalau tidak, maka perhatikan bahwa ayat ini mengatakan bahwa
saudara harus mengejar / mencari hikmat / Firman Tuhan lebih dari pada mengejar
harta terpendam!
Amsal 23:23
- “Belilah kebenaran dan jangan menjualnya; demikian juga dengan hikmat,
didikan dan pengertian”.
Membeli
kebenaran, berarti kita harus rela mengorbankan sesuatu untuk mendapatkan
kebenaran. Pengorbanan itu bisa berupa:
uang.
Misalnya:
untuk naik taxi / becak.
untuk membeli buku / cassette khotbah.
Kebanyakan
orang kristen lebih mau mengeluarkan uang untuk membeli majalah / cassette
lagu, dari pada untuk membeli buku rohani / cassette khotbah!
untuk membayar biaya Camp / Retreat / Seminar, dsb.
waktu, tenaga.
Misalnya:
menempuh jarak jauh untuk belajar Firman Tuhan. Kalau saudara bisa menghadiri
undangan pernikahan di tempat yang jauh, tetapi tidak mau datang ke gereja yang
sekalipun jauh tetapi ajarannya bagus, maka saudara lebih mengutamakan manusia
dari pada Tuhan! Ingat juga bahwa Yesus rela meninggalkan sorga dan turun ke
dunia, demi menyelamatkan saudara!
mengorbankan ‘waktu bekerja’ untuk mencari Firman Tuhan, dengan catatan saudara
bukanlah seorang pegawai, tetapi bekerja sendiri (dokter, toko, dsb).
mengorbankan ‘waktu belajar’ untuk mencari Firman Tuhan, tetapi tentu dengan
catatan bahwa saudara tetap harus bertanggung jawab dalam soal pelajaran.
pikiran.
Maulah
memeras otak pada waktu belajar Firman Tuhan. Banyak orang kristen yang dalam
bekerja mau memeras otak, dan dalam pelajaran sekolah mau belajar dengan serius
/ mempelajari hal-hal yang sukar, tetapi keberatan untuk mendengar khotbah yang
sukar! Bukankah ini merupakan pengutamaan hal jasmani di atas hal rohani?
2) Mengisi diri dengan Firman Tuhan.
Kita bisa
mengisi diri kita dengan Alkitab / Firman Allah dengan cara:
a) Membaca Alkitab dengan rutin (setiap
hari).
Perlu
diketahui bahwa Kitab Suci menggambarkan Firman Allah sebagai makanan rohani
bagi kita (1Kor 3:2 1Pet 2:2),
dan karena itu harus kita ‘makan’ setiap hari.
Kita bisa
membaca setiap hari dengan menggunakan buku-buku Saat Teduh, dan / atau membaca
Kitab Sucinya secara langsung. Untuk ini ada hal-hal yang perlu
diperhatikan:
Pilihlah buku Saat Teduh yang baik.
Sebaiknya tetapkan waktu saat teduh itu.
Kalau
saudara sudah menetapkannya pada pagi hari, maka sebaiknya lakukan itu selalu
pada pagi hari. Mengapa? Karena kalau waktu untuk saat teduh itu diubah-ubah,
sebentar pagi, sebentar malam, maka akan ada lebih besar kemungkinan untuk lupa
mengadakan Saat Teduh itu.
Berilah waktu yang cukup untuk Saat Teduh itu.
Melakukan
Saat Teduh dengan tergesa-gesa menyebabkan saudara tidak bisa berkonsentrasi
baik dalam doa maupun pembacaan Firman Tuhannya, dan ini akan menyebabkan Saat
Teduh itu menjadi sia-sia.
Berdoalah sebelum membaca Saat Teduh / Alkitab, untuk meminta Tuhan memberi
terang kepada saudara supaya saudara bisa mengerti.
Pada waktu membaca Saat Teduh, jangan hanya membaca buku Saat Teduhnya saja.
Saudara harus membaca bagian Kitab Suci yang diberikan oleh buku Saat Teduh
itu.
Kalau saudara membaca Kitab Suci secara langsung tanpa menggunakan buku Saat
Teduh, maka ada baiknya saudara membaca dari beberapa bagian Kitab Suci.
Misalnya membaca 1 pasal dari Kitab Kejadian, satu pasal dari kitab Mazmur, dan
satu pasal dari Injil Matius. Ini memang bukan peraturan yang mutlak, tetapi
hal ini penting, karena:
memberi saudara bacaan yang lebih bervariasi.
kalau saudara membaca 3 pasal semuanya dari Kitab Kejadian, maka mungkin
mula-mula tidak apa-apa. Tetapi setelah saudara menyelesaikan Kitab Kejadian,
dan masuk Kitab Keluaran, maka saudara mungkin akan merasa jenuh membaca
peraturan-peraturan yang ada di sana. Apalagi kalau saudara sudah memasuki
Kitab Imamat, Kitab Bilangan, 1Tawarikh, dsb. Kejenuhan ini bisa membuat
saudara berhenti membaca Alkitab! Tetapi dengan membaca dari 3 bagian Kitab
Suci, maka kalau pada satu bagian saudara tidak mendapatkan apa-apa, maka
saudara masih bisa mendapatkan sesuatu dari bagian-bagian yang lain.
Catatan: usahakan
membaca 3 pasal sehari, maka seluruh Alkitab bisa saudara selesaikan dalam
waktu kira-kira 1 tahun.
Kalau saudara membaca Kitab Sucinya langsung dan saudara tidak bisa
mengertinya, jangan itu membuat saudara frustrasi dan lalu berhenti. Sambil
banyak berdoa untuk meminta pimpinan dan terang dari Tuhan, teruskanlah
membaca, karena sekalipun ada bagian-bagian yang tidak bisa saudara mengerti,
tetapi pasti juga akan ada bagian-bagian yang bisa saudara mengerti. Saudara
bisa menanyakan bagian-bagian yang tidak saudara mengerti itu kepada pendeta
saudara atau kepada orang kristen yang mempunyai pengertian Kitab Suci yang
baik.
Setelah selesai membaca Kitab Suci / Saat Teduh, berdoalah lagi untuk
menanggapi apa yang sudah saudara baca.
b) Belajar Kitab Suci (Yak 1:25 - ‘meneliti’).
Belajar
berarti menggali Kitab Suci lebih mendalam dari pada sekedar membacanya. Ini
bisa saudara lakukan dengan mendengar khotbah, mengikuti Pemahaman Alkitab,
mengikuti Seminar / Camp / Retreat, atau dengan membaca buku-buku rohani
(tetapi awas, memilihnya harus hati-hati karena ada banyak buku yang
sesat!).
Dalam belajar
Kitab Suci, kita harus mau belajar dari orang lain, baik dengan mendengar
khotbah / ajarannya ataupun membaca bukunya. Ada banyak orang yang cuma mau
belajar langsung dari Tuhan, dan tidak mau belajar dari manusia. Ini adalah
sikap bodoh dan sombong yang tidak pada tempatnya. Sekalipun Tuhan memang bisa
mengajar langsung melalui Roh Kudusnya, tetapi Tuhan juga mengangkat
hamba-hamba Tuhan untuk mengajar jemaat (Ef 4:11-15).
c) Merenungkan Kitab Suci (Maz 1:2 Maz 119:99).
Merenungkan
Firman membuat kita lebih menghayatinya.
Misalnya
kalau kita mendengar / belajar tentang penderitaan dan kematian yang mengerikan
yang Yesus alami bagi kita, maka dengan merenungkan hal itu, kita bisa makin
merasakan cinta Tuhan kepada kita.
Atau pada
waktu Firman Tuhan menegur kita dari dosa tertentu, misalnya dalam persoalan
kebencian, maka kita perlu merenungkan siapa orang yang kita benci, dan kita
perlu bertobat dari hal itu.
d) Menghafalkan Kitab Suci (Yak 1:25 - ‘bukan
hanya mendengar untuk melupakannya’).
Menurut saya,
cara yang terbaik dalam menghafalkan Kitab Suci adalah dengan memberitakannya /
mengajarkannya. Dengan memberitakan / mengajarkannya, saudara akan secara
otomatis menghafalkan Kitab Suci.
Menghafalkan
Kitab Suci ini penting dalam menghadapi serangan setan berupa godaan untuk
melakukan dosa tertentu, ataupun ajaran sesat (bdk. Mat 4:1-11).
Catatan: Sekalipun
pemberitaan Firman Tuhan yang bersifat insidentil (seperti Camp, Retreat,
Seminar, KKR, dsb) itu penting, tetapi Firman Tuhan yang bersifat rutin
(Kebaktian, Pemahaman Alkitab, Saat Teduh) jauh lebih penting dan berguna bagi
pertumbuhan iman kita. Firman Tuhan yang bersifat insidentil hanya menjadi
pelengkap, bukan dimaksudkan untuk berdiri sendiri.
Illustrasi: Ada 2
orang anak, yang pertama diberi makan biasa secara rutin (3 x sehari),
yang kedua diberi makanan istimewa (di restoran yang termahal) tetapi hanya 3
bulan sekali. Yang mana yang bertumbuh?
E) Kita harus menghargai dan meninggikan otoritas
Alkitab lebih dari apapun.
1) Karena Kitab Suci adalah Firman Allah, maka
otoritasnya harus ditinggikan melebihi apapun, seperti:
hukum / undang-undang negara.
perintah / larangan orang tua, sekolah, suami / istri, pendeta / majelis /
gereja, boss, dsb (bdk. Kis 5:29).
pengakuan iman ataupun doktrin / dogma gereja.
logika / pikiran kita.
‘ilmu pengetahuan’.
Sebetulnya
ilmu pengetahuan yang benar, dan Alkitab yang ditafsirkan secara benar, tidak
mungkin bertentangan, karena 2 kebenaran memang tidak mungkin bertentangan.
Tetapi Alkitab bisa bertentangan dengan ‘ilmu pengetahuan’ yang sebetulnya
bukanlah ilmu pengetahuan.
Contoh:
Pertentangan antara Alkitab dengan ‘teori evolusi’. Dalam Kej 1:24-25 dikatakan
bahwa Allah menciptakan binatang darat, dan dalam Kej 1:26-31 dikatakan
bahwa Allah menciptakan manusia. Jadi jelas bahwa penciptaan binatang darat dan
manusia adalah 2 penciptaan yang berbeda / terpisah, sekalipun terjadi dalam
satu hari! Ini jelas bertentangan dengan teori evolusi, yang mengatakan bahwa
manusia berasal dari binatang / monyet yang mengalami evolusi / perubahan
sedikit demi sedikit sehingga akhirnya (setelah jutaan tahun) menjadi manusia!
Pertentangan ini menyebabkan kita hanya bisa menerima salah satu, atau Alkitab
atau teori evolusi. Kalau saudara adalah orang Kristen yang percaya pada
kebenaran Alkitab / Firman Tuhan, saudara harus menolak teori evolusi!
Ingat bahwa
teori evolusi ini hanyalah suatu hipotesa / dugaan, tetapi tidak punya bukti,
dan karenanya sebetulnya tidak bisa disebut sebagai ilmu pengetahuan. Tetapi
dimana-mana, baik dalam siaran TV, majalah, dan bahkan dalam pelajaran sekolah,
teori evolusi diperlakukan seakan-akan teori ini betul-betul merupakan ilmu
pengetahuan.
Dalam Koran
‘Surya’ hari Minggu, tanggal 22 November 1998, ada sebuah artikel yang berjudul
“Coelacanth ‘ikan fosil’ yang masih hidup”. Dikatakan bahwa di perairan
Indonesia (sekitar Manado) ditemukan ikan Coelacanth (baca: silakan),
yang disebutkan sebagai ‘mbahnya komodo’, dan yang oleh ahli-ahli ilmu
pengetahuan dianggap sudah punah pada sekitar 70 atau 80 juta tahun yang lalu.
Ternyata pada waktu tulang-tulang dari ikan yang baru ditangkap itu
dibandingkan dengan fosil ikan yang dianggap sudah berumur 80 juta tahun itu,
ternyata bahwa: “kita hampir tidak dapat membedakan kerangka tulang mana
yang purba (80 juta tahun lalu) dengan yang sekarang. Dan ini menimbulkan
pertanyaan mengapa? Mengapa organ ikan ini tetap statis untuk jangka waktu yang
demikian lamanya tanpa mengalami evolusi?”.
Saya
berpendapat pertanyaan ini mudah sekali jawabannya, yaitu: karena evolusi tidak
pernah ada!
2) Otoritas Kitab Suci juga harus ditinggikan
dalam mendengar suatu ajaran.
Jangan mempercayai ajaran dari tokoh yang manapun, kalau ajarannya tidak
mempunyai dasar Kitab Suci, apalagi bertentangan dengan Kitab Suci.
Kis 17:11 - “Orang-orang Yahudi di kota itu lebih baik hatinya
dari pada orang-orang Yahudi di Tesalonika, karena mereka menerima firman itu
dengan segala kerelaan hati dan setiap hari mereka menyelidiki Kitab Suci untuk
mengetahui, apakah semuanya itu benar demikian”.
Banyak
orang salah dalam hal ini, karena mereka menerima / menelan begitu saja ajaran
dari tokoh tertentu atau dogma gerejanya, padahal tidak ada dasar Kitab
Sucinya.
Sebaliknya, terimalah ajaran dari anak kecil sekalipun, kalau ajarannya memang
sesuai dengan Kitab Suci.
Juga, jangan menolak suatu ajaran yang mempunyai dasar-dasar Kitab Suci,
kecuali saudara bisa menggugurkan semua dasar Kitab Suci dari ajaran
tersebut.
F) Kita harus melakukan / mentaati Kitab Suci
(Yak 1:22).
Tidak ada
gunanya banyak belajar Kitab Suci, kalau kita tidak mentaatinya. Kalau saudara
memang mempercayai bahwa Alkitab adalah Firman Allah, maka setelah
mempelajarinya saudara harus mentaati ajaran Alkitab. Tidak mentaati ajaran
Alkitab sama dengan tidak mentaati Allah. Tidak mempedulikan ajaran Alkitab
sama dengan tidak mempedulikan Allah.
G) Kita harus memberitakan Kitab Suci (Mat
28:19-20).
Memang tidak
setiap orang dipanggil menjadi pendeta / pengkhotbah, tetapi setidaknya saudara
bisa melakukan hal-hal di bawah ini:
memberitakan Injil secara pribadi.
mengajar secara pribadi, misalnya pada waktu mendengar ada teman yang mempunyai
pandangan yang salah.
membagikan traktat.
mendukung gereja / pendeta yang betul-betul memberitakan Injil / Firman Tuhan,
baik melalui doa, uang, tenaga, pikiran, dsb.
Seorang yang
bernama Daniel Webster berkata sebagai berikut:
“If
religious books are not widely circulated among the masses in this country, I
do not know what is going to become of us as a nation. If truth be not
diffused, error will be; if God and His Word are not known and received, the
devil and his works will gain the ascendancy; if the evangelical volume does
not reach every hamlet, the pages of a corrupt and licentious literature will;
if the power of the Gospel is not felt throughout the length and breadth of the
land, anarchy and misrule, degradation and misery, corruption and darkness, will
reign without mitigation or end” (= Jika buku-buku agama / rohani
tidak beredar secara luas di antara rakyat dalam negara ini, saya tidak tahu
apa yang akan terjadi pada kita sebagai bangsa. Jika kebenaran tidak
disebarkan, maka kesalahanlah yang akan tersebar; jika Allah dan FirmanNya
tidak diketahui / dikenal dan diterima, setan dan pekerjaannya akan mendapatkan
kekuasaan / pengaruh; jika buku-buku injili tidak mencapai setiap desa,
halaman-halaman yang jahat dan literatur yang tidak bermoral akan mencapainya;
jika kuasa Injil tidak dirasakan diseluruh lebar dan panjang negara ini, maka
anarkhi dan pemerintahan yang salah, keburukan dan kesengsaraan, korupsi /
kejahatan / kecurangan dan kegelapan, akan memerintah tanpa pengurangan atau
akhir).
Seorang yang
bernama Edmund Burke berkata: “All that is necessary for the triumph of
evil is that good men do nothing” (= Semua yang dibutuhkan supaya kejahatan
menang adalah bahwa orang-orang yang baik tidak melakukan apa-apa) -
dikutip dari buku Saat Teduh ‘Streams in the Desert’, vol 2, June
13.
Semoga kedua
kutipan di atas ini bisa mendorong setiap orang kristen, terlebih lagi setiap
hamba Tuhan, untuk lebih giat dalam memberitakan Injil / Firman Tuhan. Mengapa?
Karena memang salah satu alasan yang menyebabkan ajaran-ajaran sesat bisa tersebar
dan kejahatan bisa menang, adalah karena banyak orang kristen maupun hamba
Tuhan yang tidak / kurang memberitakan Injil / Firman Tuhan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar